Apa yang disebut oase pemikiran
Muslim Bersatu - Siang itu saya mengikuti majelis kecil yang dihadiri oleh
orang-orang besar. Ada Mentri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, Romo Magnis
Suseno, Prof John Titaley, Prof Komarudin Hidayat, Ulil Abshar Abdalla,
Usman Hamid, Haidar Bagir, Asvinawati, Savic Ali, Ari Kriting, dan
beberapa tokoh lainnya. Forum yang dimotori Alissa Wahid ini memang unik
karena berhasil mempertautkan beragam manusia dari latar belakang
sosial dan profesi. Mulai intelektual, pejabat, aktivis, budayawan,
seniman, artis sampai pengamen seperti saya. Mulai generasi senior
sampai generasi millenial.
Siang itu kami berbicara mengenai penodaan dan pelecehan agama. Yang makin marak di negeri ini.
Saat
memberikan kata pengantar mas Lukman menyampaikan adanya kekosongan
norma hukum terkait dengan persoalan penodaan dan penistaan agama,
misalnya soal definisi agama, pengertian penistaan, siapa yang berhak
mementukan suatu tindakan itu dianggap penistaan atau penodaan, siapa
yang berhak menentukan batasan pokok ajaran agama dan sebagainya. Semua
ini membuat tiadanya kepatian hukum yang rentan terhadap munculnya
konflik.
Setelah itu paparan dari Asvinawati
(Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) yang menyampaikan
pengalaman dan data-data empirik selama memberikan dampingan dan
advokasi terhadap kasus penistaan agama. Ada beberapa hal menarik dari
paparan Asvinawati dan komentar dari audiens. Di antaranya, pertama,
secara yuridis ada berbagai problem kasus penodaan dan penistaan agama
baik pada aspek norma hukum, struktur atau subjek hukum dan budaya
hukum.
Kedua,
penindakan kasus penodaan agama lebih banyak tidak memenuhi unsur-unsur
yuridis karena banyak dakwaan yang dalam persidangan tidak terbukti,
terpatahkan argumennya, bukti yang tudak valid dan sejenisnya tapi
terdakwa tetap dihukum hanya karena tekanan publik. Belum lagi soal
saksi yang enggan menjadi saksi di pengadilan karena takut pada tekanan
dan intimidasi. Pendeknya, banyak norma hukum yang tidak memadai untuk
menjerat mereka yang dituduh melakukan penodaan dan penistaan agama.
Ketiga,
banyak aparat yang lebih mengedepankan aspek ketenteraman dan
keterbitan daripada aspek yuridis formal. Artinya meski secara normatif
hukum tidak memadai tapi terpaksa ditindak demi menjaga ketertiban.
Dalam kondisi demikian biasanya aparat cenderung bersikap tidak tegas
dan kelompok yang lemah biasanya menjadi korban dan dipaksa mengalah.
Pembicaraan
semakin menarik ketika memasukkan perspektif sosiologis-kultural.
Keberagaman kondisi sosial dan konstruksi budaya dengan segenap norma
yang ada di masyarakat menimbulkan kerumitan ketika hukum positif formal
diterapkan. Di sini terjadi benturan antara hukum positif dengan norma
dan budaya yang berlaku di masyarakat, karena banyak aspek kultural etik
yang tidak ter-cover oleh
hukum positif. Dalam konteks ini perlu ada upaya pendekatan kultural
etik dalam menangani kasus penodaan agama untuk melengkapi pendekatan
yuridis formal. Selain itu perlu juga menyerap nilai kearifan lokal
dalam formasi hukum positif.
Yang lebih seru
ketika bicara soal definisi agama, pemegang otoritas dalam menentukan
standar penistaan sampai pada peran negara dalam menjaga dan melindungi
agama lokal di Indinesia. Persoalan menjadi lebih rumit ketika hal ini
dihadapkan dengan sikap fanatisme sempit dan pola pikir formalis
tekstual para pemeluk agama yang tidak segan-segan menggunakan cara-cara
kekerasan dan mengabaikan hukum positif.
Sebagaimana
yang terjadi pada kasus Qadri yang membunuh Gubernur Punjab, Salem
Taseer karena dianggap menentang UU penodaan agama. Peristiwa di
Pakistan ini bukan tidak mungkin terjadi di begeri ini meski dengan
skala dan modus yang berbeda. Berbagai kasus ini mencerminkan bagaimana
sensitifnya UU penodaan agama sehingga terlalu riskan untuk dicabut dan
dihilangkan.
Yang lebih memungkinkan adalah
melakukan revisi terhadap undang-undang yang terkait dengan penodaan
agama khususnya UU PNPS tahun 1965 pasal 1 dan KUHP pasal 165 a yang
dianggap sudah tidak memadai dan problematis. Ini merupakan upaya
menciptakan kepastian hukum yang bisa dijadikan pegangan bersama dalam
menyikapi dan menjawab kekosongan norma hukum terkait dengan masalah
penodaan agama. Selain itu hal ini juga merupakan realisasi putusan MK
yang menganggap perlunya revisi UU Penodaan agama agar tidak terjadi
kerancuan tafsir.
Selain persoalan hukum, yang
penting dilakukan adalah mengembalikan aspek akhlak dalam kehidupan
beragama. Karena saat ini aspek akhlak ini hampir hilang tergerus oleh
kuatnya arus syariah yang simbolik formal. Hilangnya akhlak membuat
sikap keberagamaan menjadi kering dan keras. Hal lain yang penting
dicatat adalah aparat harus tegas pada kelompok yang sering main pressure dan negara harus kuat agar bisa melindungi kelompok minoritas yang justru sering mendapat penistaan.
Di
akhir diskusi semua peserta bersepakat mengenai rumitnya persoalan yang
dihadapi bangsa ini yang tidak mungkin diselesaikan hanya dengan
mengedepankan satu aspek saja. Perlu ada sinergi dan integrasi dari
berbagai aspek untuk menjawab persoalan yang rumit dan kompleks ini.
Untuk itu diperlukan kerendahan hati dan kearifan tinggi untuk
menyelesaikan masalah yang ada.
Di forum ini
semua dapat bicara bebas, tanpa caci maki dan provokasi. Tak ada batas
dan sekat. Semua ikhlas mendengar dan berbicara, saling menghargai dan
menghormati. Mengikuti pembicaraan siang itu, saya seperti berselancar
dan menyelam di oase dengan airnya jang jernih dan sejuk.
Di
sini saya tidak hanya bisa minum airnya yang jernih, tetapi juga bisa
mencuci berbagai kotoran dan residu "air" politik yang keruh yang setiap
hari datang membanjiri pikiran. Hiruk pikuk politik terasa senyap di
forum ini, berganti harmoni yang penuh kasih dengan nada-nada cinta yang
indah. Semoga forum ini terus bisa bertahan. Tabik.
Penulis - Saiful Chamdi
Terkait - 3 fase pemikiran ekonomi islam,3 fase perkembangan sejarah pemikiran ekonomi islam,3 fase sejarah pemikiran ekonomi islam menurut shiddiq,4 fase pemikiran manajemen,4 fase sejarah pemikiran ekonomi islam
Terkait - 3 fase pemikiran ekonomi islam,3 fase perkembangan sejarah pemikiran ekonomi islam,3 fase sejarah pemikiran ekonomi islam menurut shiddiq,4 fase pemikiran manajemen,4 fase sejarah pemikiran ekonomi islam
No comments