Hukum Syariah di Indonesia masih di perdebatkan
Muslim Bersatu - Para pengusung ideologi khilafah berupaya memberlakukan hukum syariah ke dalam undang-undang (taqnin).
Penulis
buku Kontroversi Dalil-dalil Khilafah Muhammad Sofi Mubarok
menjelaskan, gagasan yang dikemukakan pertama kali oleh pemikir Syiah,
Ibn al-Muqaffa saat menulis surat untuk Khalifah Ja'far al-Manshur, itu
masih diperdebatkan. "Ide taqnin sendiri merupakan suatu hal yang
debatable," kata Sofi kepada NU Online pada Selasa (12/2).
Sofi
menjelaskan bahwa Ibn al-Muqaffa' menulis surat yang ia tujukan kepada
Khalifah Ja'far al-Manshur itu berisi saran untuk menyusun suatu
undang-undang yang dapat dijadikan pegangan umat Islam.
Lebih
lanjut, Wakil Sekretaris Pimpinan Cabang Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama
(ISNU) Kabupaten Cirebon itu mengungkapkan bahwa ide taqnin, menurut
beberapa pandangan, lemah secara ontologi karena rentan terjebak dalam
pemutlakan sesuatu yang bersifat relatif.
"Artinya,
spirit yang dibangun hukum Islam itu dinamis dan menghargai perbedaan
pandangan. Karena haditsnya memang begitu, menyatakan bahwa perbedaan
ialah suatu rahmat," jelasnya.
Alumnus Institut
Agama Islam (IAI) Ibrahimy Situbondo, Jawa Timur itu juga mengutip
pandangan gurunya, KH Afifuddin Muhajir bahwa meski suatu teks syariah
bersifat pasti (qath'i) dalam menetapkan suatu hukum, akan tetapi
penerapannya juga tetap bersifat relatif, qathiyud dilalah dhanniyyut tathbiq.
Ayat
tentang pidana pencurian (QS. Al-Maidah/05:38), Sofi mencontohkan,
tidak serta-merta dapat diterapkan begitu saja untuk setiap kasus
pencurian. Sebab, menurutnya perlu ada kajian mendalam terhadap berbagai
hal terkaitnya, baik konteks pencuriannya, maupun teks nash Al-Qur'an
yang dirujuknya.
"Tentang apakah harta yang
dicuri sudah mencapai nishab, apakah pencurian itu dilakukan terpaksa
atau tidak, apakah pencurian terjadi di musim paceklik, atau yang lebih
modern lagi, apakah yang dimaksud dengan 'potong tangan' di situ adalah
ditafsirkan secara hakikat atau metafor belaka, atau kajian mendalam
yang menyebutkan hukum potong tangan di situ merupakan hukuman maksimal
(al-hadd al-a'la) jika hukuman lain tidak membuat jera," jelasnya
merincikan.
Dalam hal ini, Sofi lebih sepakat
dengan penafsiran taqnin sebagai upaya untuk memperjuangkan nilai-nilai
syariah yang substantif ke dalam berbagai regulasi dan aturan meski tak
ada embel-embel syariah. Menurutnya, daripada berdebat tentang perlunya
penggantian sistem pemerintahan, lebih baik energi itu digunakan oleh
orang-orang baik yang memahami hukum Islam untuk mengadvokasi melalui
ruang-ruang di pemerintahan.
"Agar tujuan utama di balik pemberlakuan hukum (maqashid al-syari'ah)
dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat, atau mengadvokasi
stakeholder untuk merujuk kepada spirit UUD 1945 yang sesuai dengan
cita-cita syariah dalam berbangsa dan bernegara," katanya.
Sementara
itu, pemerintah juga tidak melarang umat Islam melaksanakan
kewajibannya, seperti shalat, zakat, puasa, hingga berhaji. Bahkan,
lanjut Sofi, pemerintah memfasilitasi itu semua. "Malah pemerintah turut
memfasilitasi melalui berbagai regulasi. Misal, dibentuknya Baznas yang
bertugas mengelola zakat masyarakat, pengelolaan urusan haji di
Kementerian Agama, dan sebagainya," terangnya.
Di
samping itu, perihal muamalah juga sudah terakomodasi dengan regulasi
yang ada. Perkawinan misalnya, yang sudah ada payung hukumnya berupa UU
Perkawinan, pun dengan perbankan.
"Untuk hukum
muamalah juga kebutuhan kita sudah terakomodir, seperti UU Perkawinan,
hadirnya DSN-MUI yang dulu mengadvokasi lahirnya Bank Muamalat yang
murni menerapkan sistem syariah," pungkasnya
No comments