Di Hina Buta Mata Buta Hati KH Abdurrahman Wakhid (Gus Dur) Tetap Bela Minoritas
Di Hina Buta Mata Buta Hati Gus Dur Tetap Bela Minoritas
Portal Aswaja
Ada yang menarik dari konferensi tahunan ketujuh yang
diadakan oleh Globalization for the Common Good, From the Middle East to Asia
Facific: Arc of Conflict or Dialogue of Cultures and Religions, 30 Juni – 3
Juli 2008, di Melbourne, Australia. Para peserta dan pembicara yang berasal
dari universitas-universitas terkemuka pelbagai Negara ini hampir selalu
menyebut nama mantan presiden Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur),
sebagai contoh ideal pemuka agama tradisional yang begitu gigih memperjuangkan
semangat toleransi dan perdamaian.
Prof. Muddathir Abdel-Rahim (International Institute of
Islamic Thought and Civilization, Malaysia) menunjuk Gus Dur sebagai sosok yang
berhasil membalik prasangka banyak kalangan tentang wajah Islam yang cenderung
dipersepsi tidak ramah terhadap isu-isu toleransi dan perdamaian.
Prof. Abdullah Saeed
(The University of Melbourne) juga mengakui posisi penting Gus Dur dalam upaya
kontekstualisasi nilai-nilai universal al-Qur’an. Dr. Natalie Mobini Kesheh
(Australian Baha’i Community) mengatakan bahwa satu-satunya pemimpin Islam
dunia yang begitu akomodatif terhadap komunitas Baha’i adalah Gus Dur. Prof.
James Haire (Charles Stuart University, New South Wales) berkali-kali memberi
pujian kepada Gus Dur yang ia nilai paling gigih dalam memberi perlindungan
terhadap kelompok minoritas. Sementara Dr. Larry Marshal (La Trobe University,
Australia) menyebut Gus Dur sebagai pemikir cemerlang yang memiliki pandangan
luas.
Marshal bahkan sangsi Indonesia bisa melahirkan pemikir-aktivis
seperti Gus Dur dalam jangka waktu seratus tahun ke depan. Apresiasi dan pujian
dari masyarakat intelektual dunia ini bukan sekali ini saja. Gus Dur kerapkali
menerima sejumlah penghargaan dari banyak lembaga internasional yang bersimpati
terhadap perjuangannya selama ini.
Apresiasi semacam itu justru agak berbeda dengan situasi
mutakhir di Indonesia. Setelah tersingkir dari jabatan struktural Nahdlatul
Ulama (NU), diganti oleh bekas loyalisnya, Hasyim Muzadi, kini Gus Dur harus
menghadapi tekanan politik dari kemenakannya, Muhaimin Iskandar, di Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB)
Musuh-musuh
ideologisnya bahkan secara terang-terangan berani memperolok-olok mantan
presiden ini di depan publik. Pada sebuah acara talk show di sebuah stasiun
televisi, Rizieq Shihab menyebut Gus Dur “buta mata, buta hati.” Olok-olok dan
penghinaan ini kemudian diikuti oleh pengikut-pengikut H Rizieq di pelbagai
daerah yang tanpa sungkan membawa poster olok-olok tersebut ke jalan-jalan.
Gus Dur tidak hanya menuai tantangan dari musuh-musuh
politik dan ideologisnya. Madina, sebuah majalah yang dikenal moderat dan
kerapkali menampilkan gagasan-gagasan pembaruan Islam, tidak menyebut namanya
dalam daftar 25 tokoh Islam damai di Indonesia. Gus Dur tersingkir dari
nama-nama beken seperti Abdullah Gymnastiar, Arifin Ilham, atau Helfy Tiana
Rosa. Bahkan di kalangan kelompok moderat Indonesia sekalipun, Gus Dur tak
jarang terabaikan.
Meski begitu, apa yang terjadi pada konferensi Melbourne dan
forum-forum internasional lain bukan sekedar apresiasi dan pujian, melainkan
harapan. Gus Dur dianggap sebagai harapan bagi masa depan perdamaian di
Indonesia dan dunia Islam pada umumnya. Melalui aktivitas pembelaan terhadap
kelompok pinggiran, Gus Dur telah memberi bukti bahwa Islam juga punya semangat
toleransi dan perdamaian, bahkan dalam bentuk yang paling tradisional
sekalipun.
Posisi Gus Dur sebagai politisi dan pejuang HAM sekaligus
adalah sesuatu yang memang langka. Dan kemampuannya melakukan pembedaan secara
jernih mengenai posisinya itu adalah sesuatu yang mengagumkan. Perjuangannya
untuk tetap membela hak-hak minoritas tak pernah surut kendati tampak tidak
menguntungkan secara politik. Ketika kebanyakan politisi angkat tangan dan
bungkam terhadap kasus minoritas Ahmadiyah, Gus Dur justru tampil di garda
depan sebagai pembela hak-haknya. Bagi Gus Dur, adalah hak pengikut Ahmadiyah
untuk hidup sebagaimana rakyat Indonesia pada umumnya. Jaminannya adalah
Konstitusi. Perkataan Gus Dur dalam sebuah konferensi pers mungkin akan sulit
dilupakan para pejuang HAM dan demokrasi: “Selama saya masih hidup, saya akan
tetap membela keberadaan Jemaat Ahmadiyah, karena itu sesuai dengan amanat
Konstitusi.” Bagi Gus Dur, hak hidup semua orang dengan latar belakang
primordial apapun adalah harga mati.
Barangkali memang Gus Dur tidak sedang berada pada waktu dan
tempat yang tepat. Aktivitas dan pemikirannya terlalu jauh meninggalkan
zamannya. Hanya masyarakat maju dan tercerahkan yang bisa mengapresiasi
perjuangannya. Ketika Gus Dur berjibaku dengan isu-isu perdamaian bagi negeri
tercinta, antusiasme masyarakat Indonesia terhadap gagasan-gagasannya justru
melemah. Dalam pelbagai survey opini publik, suara Gus Dur malah anjlok ke
titik terendah. Jika di dalam negeri Gus Dur dicaci dan direndahkan, untuk masyarakat
internasional pecinta perdamaian, Gus Dur adalah pemimpin.
nah ini salah satu presiden yg sayaa sukaa , salah satu org yg memiliki kekurangan tapi tetep semangat
ReplyDeleteHidup Gusdur :v
ReplyDeletebenar2 sosok kiai NU yg kharismatik..
ReplyDeleteHidup Gusdur !! Mantap Om
ReplyDeletemasih banyak aja news begini hehe
ReplyDeleteGood quote "Gus Dur tidak sedang berada pada waktu dan tempat yang tepat. Aktivitas dan pemikirannya terlalu jauh meninggalkan zamannya. Hanya masyarakat maju dan tercerahkan yang bisa mengapresiasi perjuangannya"
ReplyDelete