BREAKING NEWS :
Loading...

Santri , Kitab Kuning dan Islam Indonesia



Muslim bersatu - Saya sangat bersyukur mengenal kitab kuning secara intim, beberapa tahun lalu ketika saya mondok di pesantren. Selama berada di Al Hikmah, nama pesantren itu, saya mendapatkan banyak pengalaman berharga. Juga nilai nilai keislaman yang sederhana tapi memiliki kedalaman makna.

Sedari awal harus saya akui, saya tak seperti kebanyakan teman saya yang lain. Di antara sebagian teman, saya mungkin aneh. Jika mereka masuk pesantren atas dorongan sendiri, karena menjadi santri adalah sebuah prestasi; menjadi santri adalah keren, saya menjadi santri justru atas desakan orang tua. Namun bila ditanya, adakah orang yang tak bisa berenang tercebur ke “sungai” tapi malah senang dan mensyukurinya? Tanpa segan saya akan mengacungkan jari. 

Ketika menginjakkan kaki di Benda, pengetahuan keislaman saya sedikit. Sangat. Padahal, saat itu saya masuk Aliyah. Meski sebelumnya pernah mengaji di sejumlah pesantren, saya tak pernah meresapinya dengan baik. Hasilnya, pengetahuan saya pas pasan: cuma bisa mengeja Al Quran. Saya menyadari hal itu dan berusaha memperbaikinya. Dan, di Al Hikmah saya mendapatkan jalan menuju perbaikan tersebut. Di sana perhatian saya seperti tersedot kepada satu hal: kitab kuning.

Makanya, ketika Aliyah mengajukan pilihan jurusan ekstrakulikuler saya memilih jurusan Kitab Kuning. Ada 6 jurusan ketika itu: Pengelasan, Perikanan, Tata Busana, Kitab Kuning, Bahasa Inggris, dan Komputer. Meski saat Madrasah Tsanawiyah  (Mts) saya mencita citakan menjadi guru bahasa Inggris, saya tak mengambil jurusan Bahasa Inggris. Dilematis memang. Saya cenderung memilih keduanya jika diperkenankan. Tapi, saya mesti memilih satu. Dan, keputusan yang saya saya anggap tepat saat itu, tetap tepat hingga hari ini. Saya memilih jurusan Kitab Kuning.

Diampu para ahli di bidangnya, seperti Pak Yasin, Pak Rohani, dan Pak Faiq, saya serta sejumlah teman mendapatkan pelajaran penting, dari mulai Nahwu Sharaf maupun Fiqih. Melalui pengajian pengajian itulah, selain pengajian utama yang diasuh Abah Masruri, mata saya terbuka lebar bahwa pengetahuan Islam klasik itu begitu kaya. Dan, pemikiran Islam itu begitu beragam. Tidak tunggal. Dalam Fiqih kita menemukan, setidaknya, empat mazhab utama: Imam Syafii, Imam Malik, Imam Hanbali, Imam Hanafi. Dalam Nahwu kita mengenal dua aliran, Bashrah dan Kufah. Dalam tasawuf ada berbagai tarikat, seperti Syadziliah dan Qadiriyah.

Untuk mendalami kitab kuning, ada sebuah forum diskusi yang sangat menarik: Bahtsul Masail, pembahasan sejumlah masalah. Saya mengikuti forum yang rata rata diikuti santri senior itu beberapa kali. Ketika itu, tentu saja, ikut menjadi peserta adalah sebuah prestasi dan prestise. Mengelilingi jejeran kitab tebal dan berjilid jilid, saya seperti terbang ke nirwana. Bahagia. Apalagi ditonton santri putri di belakang dan di atas kami.

Dalam forum tersebut, kami mencoba memecahkan satu atau beberapa kasus yang terjadi di masyarakat. Kasus tersebut dibedah melalui penelusuran argumentasi yang ada di dalam kitab kitab Fiqih maupun Ushul Fiqh. Jika tidak menemukan pendapat seorang ulama tentang masalah tersebut, ada satu lagi cara  untuk menjawabnya, menggunakan mantiq, ilmu logika. Namun, yang paling menarik dalam bahstul masail adalah proses mencari jawaban. Demi mendapatkan jawaban, kami rela mengubek ubek sebuah kitab berjam jam, dari mulai kitab kitab standar seperti Fath al Qarib, Fath al Muin (atau Ianat al Thalibin), Fath al Wahhab, sampai ke tingkat lanjut seperti al Umm karangan Imam Syafii.    
Dalam forum itu, selain diajak berdebat dengan sehat santri juga dituntut untuk mengungkapkan argumentasi yang kukuh. Meski demikian, bisa jadi hal ini mungkin menimbulkan pertanyaan, bukankah itu taklid? 

Tentu saja, proses itu bukan taklid.  Kita bisa disebut taklid jika kita mengikuti sebuah sikap atau pendapat, tapi tidak mengetahui alasan dan bagaimana pendapat itu muncul.  Kalau kita mengetahui alasan dan tahu bagaimana sebuah pendapat itu muncul, itu dinamakan ittiba’, mengikuti pendapat seorang ulama. Dan, bagi seorang pelajar status ittiba’ lebih baik ketimbang taklid.

Dengan mengikuti pendapat seorang ulama berarti kita telah meletakkan pendapatnya dengan kritis. Jika kita tidak kritis, argumentasi yang kita kemukakan tidak akan diterima dengan baik. Tentu saja, dalam bahtsul masail tidak ada jawaban, “Itu sudah kehendak Allah”. Kalau sampai jawaban ini terlontar, tak perlu diskusi. Tak butuh forum. Jika menelaah sampai ke akar, semua yang ada di dunia ini memang kehendak Allah. Tidak ada yang keluar dari kodrat dan iradat Nya. Dan, bahstul masail tidak memperdebatkan hal itu. Dalam filsafat, itu sudah aksiomatik; badihiy dalam istilah Mantiq. Tidak perlu lagi kita pertanyakan. Kebenaran tentang hal itu sudah sangat terang.

Dalam forum itu kita dituntut mencari jawaban dengan perangkat analisis yang sudah diajarkan oleh guru guru kita, seperti Nahwu Sharf untuk membaca kitab; Mantiq untuk kritis terhadap nash (teks) yang tertulis dalam kitab. Adapun ungkapan Wallahu a’lam bi al Shawab, itu lebih merupakan ungkapan kerendahhatian kita. Kalimat itu menandaskan bahwa kebenaran sejati hanya milik Allah. Kita, manusia yang daif ini, berusaha mencari kebenaran sesuai dengan potensi yang telah Allah anugerahkan, dengan akal dan wahyu (Al Quran dan Hadis).

Jawaban terhadap sebuah masalah pun tidak mesti satu. Bisa beragam, tergantung  konteks. Lahirnya berbagai mazhab adalah fakta tentang keberagaman tersebut. Tanpa kita sadari, sebenarnya pengalaman tersebut sedang mengajarkan toleransi. Dan, ini yang paling penting, fakta keberagaman itu menjadi motor bagi santri untuk toleran terhadap berbagai pemikiran dan aliran. Santri tidak mudah menjatuhkan tuduhan secara serampangan. 
Dengan mengetahui pendapat ulama klasik tentang sebuah masalah, kita bisa menerapkan kaidah yang sering kita kutip, 

المحافظة على القديم صالح ولأخذ بالجديد الأصلاح 

Menjaga hal yang lama itu baik, dan memanfaatkan hal yang baru lebih baik.

Bagaimana kita bisa menjaga hal lama (pemikiran ulama), jika kita tidak mengetahuinya. Tanpa mengetahui yang lama, kita tidak bisa menentukan sesuatu sebagai hal yang baru. Kita bisa menilai sebuah buku lama karena ada buku baru. Kita bisa melihat mobil baru, setelah kita tahu bahwa sebelumnya ada mobil lama. 

Kaidah dan pengalaman ini mengajarkan kita untuk selalu merespons keadaan dengan cermat. Juga menandakan keterbukaan dan keluasan pandangan. Dan, dunia santri mendorong ke arah sana.   
Nashaih al Ibad 

Yang juga tak bisa saya lupakan adalah kitab kitab kecil seperti Nashaih al Ibad (Nasihat nasihat untuk Para Hamba) anggitan Syekh Syihabuddin Ahmad ibn Hajar al Asqalani. Namun, yang dikaji di pondok pesantren biasanya menggunakan syarahnya, Syarh Nashaih al Ibad karangan Syekh Muhammad Nawawi Ibn Umar al Jawi, seorang ulama kenamaan asli Indonesia. Meski kitab klasik ini hanya berisi 70 halaman, semua makna yang terkandung di dalamnya begitu luas, tak ubahnya sungai pengetahuan yang senantiasa mengalir.
 
Saya lupa persisnya kepada siapa saya mengaji kitab ini. Namun, setelah membaca kembali kitab ini saya seperti tersengat. Betapa pesantren mengajarkan sikap berislam yang penuh kasih sayang. Misalnya, kitab itu dibuka dengan hadis qudsi: 

يا عبادى إنى حرمت الظلم على النفسى وجعلته بينكم محرما فلا تظالموا...الخ 

Para Hambaku, Aku haramkan diri Ku berbuat zalim, dan aku mengharamkan kalian berbuat zalim; janganlah kalian saling menzalimi…dst.      

Atau hadis kedua, 

الراحمون يرحمهم الرحمن تبارك وتعالى ارحموا من فى الارض يرحمكم من فى السماء

Para penyayang akan disayangi Maha Penyayang, Yang Maha Suci lagi Maha Luhur. Sayangilah penghuni bumi, maka penghuni langit akan menyayangimu.

Melihat peristiwa kekerasan yang dilakukan sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam di Indonesia belakangan ini, mau tak mau saya rindu kehidupan pesantren dan dunia santri. Melihat sikap mereka yang kaku dalam memahami Islam, seakan jihad adalah hanya bermakna perang dan bom bunuh diri, seakan tanpa merasa bersalah menegakkan amar makruf dan nahi munkar secara munkar dengan melakukan perusakan, sungguh saya merindukan dunia santri. Islam yang mereka pancarkan sungguh jauh dari nilai nilai kasih sayang dan rasional. Berbeda dengan Islam di pesantren pesantren. 
Islam yang diajarkan di pesantren begitu sederhana. Tidak kaku, njlimet, dan indah karena mengakui keragaman. Selain menuntut kita untuk berpikir keras menemukan jawaban atas masalah masalah yang terjadi di masyarakat dalam bahtsul masail, di pesantren kita juga diajari untuk bersikap secara elegan: rasional, menyebarkan kasih sayang, dan senantiasa beribadah kepada Allah. 

Tentu saja, setelah sekian tahun lulus dari pesantren saya belum bisa mempraktikkan nilai nilai keislaman yang sederhana itu. Namun, saya akan terus berusaha mewujudkannya. Sekuat tenaga. Dan, saya sangat bersyukur mengenal kitab kuning secara intim, beberapa tahun lalu ketika saya mondok di pesantren.          

























terkait - kitab kuning pdf,kitab kuning adalah,kitab kuning terjemahan,kitab kuning fathul qorib,kitab kuning nu,kitab kuning aswaja,kitab kuning daqoiqul akhbar pdf,kitab kuning aswaja pdf,kitab kuning apk,kitab kuning akhlak,kitab kuning alfiyah,kitab kuning aswaja adalah,baca'an kitab kuning,kitab kuning bahasa jawa,kitab kuning berarti,kitab kuning bahasa indonesia,kitab kuning bajuri,kitab kuning bahasa sunda,kitab kuning bab puasa,kitab kuning berisi cerita,kitab kuning bahasa arab,kitab kuning cerita,kitab kuning cara membaca,kitab kuning chm,kitab kuning cetakan dki,kitab kuning.com,kitab kuning cinta,kitab kuning coretan jawa,kitab kuning cilongok,kitab kuning tentang cinta,baca kitab kuning cepat,kitab kuning dan terjemahan,kitab kuning dan maknanya,kitab kuning dan artinya,kitab kuning download,kitab kuning digital,kitab kuning dasar,kitab kuning dan terjemahannya,kitab kuning durotun nasihin,kitab kuning dan kitab gundul,cerita di kitab kuning,kisah di kitab kuning,kitab kuning ebook,kitab kuning elektronik,kitab kuning exe,kitab kuning tentang ekonomi,ebook kitab kuning dan terjemah,ebook kitab kuning pdf,ebook kitab kuning terjemahan,ebook kitab kuning terjemah,erti kitab kuning,ebook kitab kuning,kitab kuning fathul muin,kitab kuning fathul izar,kitab kuning fathul majid,kitab kuning fathul qorib pdf,kitab kuning fathul bari,kitab kuning fathul mu'in pdf,kitab kuning gundul,kitab kuning gay,kitab kuning gratis,kitab kuning gontor,kitab kuning galeri,kitab kuning gus dur,kitab kuning grindr,kitab kuning gambar,kitab kuning grosir,kitab kuning hikam,kitab kuning hadist,kitab kuning huruf gundul

No comments

Powered by Blogger.