NU sekarang bisa berperan lebih banyak
Musliim Bersatu - Nahdlatul Ulama telah genap berusia 93 tahun. Tujuh tahun lagi, organisasi yang didirikan oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari ini bakal berusia satu abad. Era Reformasi yang sudah berlangsung 20 tahun membuat demokrasi Indonesia terus berkembang. Lebih terbukanya akses dan kebebasan bersuara di tengah publik memberikan peluang dan tantangan tersendiri bagi NU. Terlebih dengan adanya media sosial, orang-orang semakin lebih mudah menyuarakan pelbagai hal.
Tahun 2019 yang menjadi perhelatan akbar politik Indonesia dengan adanya Pemilu juga memberi warna lain. Orang-orang dengan berbagai latar belakang organisasi dan ideologi berebut untuk dapat mengambil peran di tengah bangsa yang multiragam ini. Tak terkecuali Nahdliyin.
Kontributor NU Online Syakir NF berhasil menemui Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Muhammad Machasin saat Konsolidasi Organisasi Jelang Satu Abad NU yang digelar di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, pada Kamis (31/1).
Bagaimana Prof Machasin melihat NU saat ini?
NU karena jumlah anggotanya yang banyak dalam sistem demokrasi ini menjadi seksi untuk dimanfaatkan suaranya. Tetapi, NU juga tidak mudah ditarik-tarik. Dibandingkan zaman Orde Lama dan Orde Baru, NU jauh lebih berperan sekarang. Dulu berperan, tetapi karena suasana sosial, politik, dan budayanya membuat NU belum bisa berperan besar. Tetapi beberapa tokoh NU berperan besar, ada Kiai Wahab, Kiai Saifuddin Zuhri dan lain-lain.
Kenapa sekarang bisa berperan lebih besar?
Sekarang NU sudah banyak orang yang terpelajar. Mereka mempunyai skill menangani hal-hal di luar agama. Maka sekarang, NU lebih berpotensi untuk bisa berbuat lebih besar untuk kepentingan bangsa.
Memang masih terserak-serak. Kadang-kadang terdengar pikiran yang berbeda, omongan yang miring, ya itu dinamika saja karena NU kan lebih banyak orang yang amal ibadahnya mirip-mirip. Kalau kita lihat orang-orangnya, kita bisa lebih memberikan harapan.
Lalu apa tantangan NU saat ini?
Tantangan yang pokok menurut saya adalah pembinaan ke dalam. Ke luar, orang akan mencari. Tapi ke dalam, apa yang membuat kita ini NU. Ini sebetulnya yang perlu ditanya. Sebagian orang mungkin sudah tahu seperti memperkuat wasathiyah dan sebagainya. Tapi sebenarnya lebih dari itu. Di dalam NU, ada yang melihat ke-NU-annya itu dari ibadah, seperti qunut, tarawih 20 rakaat. Saya kira itu sudah tidak cukup lagi untuk mengatakan siapa orang NU.
Mestinya bagaimana, Prof?
Mungkin perlu dirumuskan dengan baik. NU dalam beragama itu cukup lentur. Tidak mudah mengatakan bid'ah, haram, bisa toleran terhadap orang yang berbeda, percaya pada proses, tidak mengatakan ini salah dan seterusnya. Walaupun ada orang NU yang tipenya berbeda, mengatakan ini salah dan sebagainya. Tapi umumnya orang NU itu adalah moderat di dalam beragama. Ini yang perlu dirumuskan lebih baik karena moderasi itu berkembang, tergantung suasananya. Di tempat yang banyak sekali beribadah, mungkin moderasinya berubah. Mungkin di tempat lain yang pilihannya pada pluralistik mungkin berbeda lagi.
Apa harapan Prof terhadap NU ke depan?
Sulit rasanya mengatakan harapan karena saya juga terlibat di dalamnya. Tapi ya seharusnya NU bisa berperan lebih banyak. Bagaimana NU bisa memegang kembali peran penyampai Islam kepada masyarakat banyak. Jangan sampai NU terlalu pinggir. Kita harus berebut ke tengah dan menyampaikan pesan ke-NU-an.
No comments