BREAKING NEWS :
Loading...

Apakah diperbolehkan Makmum pada Imam yang bacaannya Rusak atau Kurang Fasih ?





Portal Aswaja - Salah satu ketentuan yang dianjurkan dalam shalat Salah satu ketentuan yang dianjurkan dalam shalat berjamaah adalah imam shalat merupakan orang yang paling fasih bacaan Al-Qur’annya. Sehingga hal yang dijadikan pijakan dalam shalat jamaah bukanlah kealiman seseorang dalam bidang agama, bukan pula usianya tapi adalah kefasihan bacaannya. Anjuran ini seperti yang disampaikan oleh Rasulullah ﷺ:

لِيُؤَذِّنْ لَكُمْ خِيَارُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ قُرَّاؤُكُمْ


“Hendaknya yang melaksanakan azan adalah orang terpilih di antara kalian dan yang menjadi imam orang paling fasih bacaannya di antara kalian.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Namun ironisnya, banyak masjid atau mushala yang tersebar di pemukiman penduduk, kurang memperhatikan anjuran ini. Dalam menentukan figur yang menjadi imam shalat berjamaah, seringkali ditentukan dari orang yang dipandang paling tua atau pemangku masjid karena dianggap lebih istiqamah dan sesuai dengan tradisi yang berlaku di masjid tersebut.

Hal ini meskipun berseberangan dengan pemilihan imam shalat jamaah yang dianjurkan oleh syara’, tapi dalam hal keabsahan shalat para makmum tetap tidak berpengaruh, kecuali memang bacaan Al-Qur’an imam yang mengimami shalat jamaah bermasalah. Seperti tidak sesuai standar tajwid karena faktor lisan yang cedal dan sampai mengubah susunan huruf bahkan mengubah terhadap makna dari bacaan wajib dalam shalat. Maka dalam keadaan demikian, tidak boleh bagi orang yang bacaan Al-Qur’annya benar untuk bermakmum pada imam yang bacaannya dalam kategori tersebut. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra:

وَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِمَنْ لَا يُحْسِنُ الْقِرَاءَةَ وَالْمُرَادُ بِعَدَمِ إِحْسَانِ الْقِرَاءَةِ الَّذِي الْكَلَامُ فِيهِ أَنْ يَكُونَ يُبَدِّلُ حَرْفًا بِآخَرَ أَوْ يَلْحَنُ لَحْنًا يُغَيِّرُ الْمَعْنَى أَمَّا غَيْرُ ذَلِكَ فَلَا يَمْنَعُ الْوُجُوبَ.

“Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk berjamaah dengan imam yang tidak baik bacaan Al-Qur’annya. Yang dimaksud dengan ‘Tidak baik bacaan Al-Qur’annya’ dalam pembahasan ini adalah sekiranya ia mengganti suatu huruf dengan huruf yang lain, atau ia membaca lahn (keliru) yang mengubah terhadap makna kata. Adapun selain ketentuan di atas, maka tetap tidak mencegah terhadap wajibnya (berjamaah shalat jum’at)” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz 1, hal. 152) adalah imam shalat merupakan orang yang paling fasih bacaan Al-Qur’annya. Sehingga hal yang dijadikan pijakan dalam shalat jamaah bukanlah kealiman seseorang dalam bidang agama, bukan pula usianya tapi adalah kefasihan bacaannya. Anjuran ini seperti yang disampaikan oleh Rasulullah ﷺ:

لِيُؤَذِّنْ لَكُمْ خِيَارُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ قُرَّاؤُكُمْ


“Hendaknya yang melaksanakan azan adalah orang terpilih di antara kalian dan yang menjadi imam orang paling fasih bacaannya di antara kalian.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Namun ironisnya, banyak masjid atau mushala yang tersebar di pemukiman penduduk, kurang memperhatikan anjuran ini. Dalam menentukan figur yang menjadi imam shalat berjamaah, seringkali ditentukan dari orang yang dipandang paling tua atau pemangku masjid karena dianggap lebih istiqamah dan sesuai dengan tradisi yang berlaku di masjid tersebut.

Hal ini meskipun berseberangan dengan pemilihan imam shalat jamaah yang dianjurkan oleh syara’, tapi dalam hal keabsahan shalat para makmum tetap tidak berpengaruh, kecuali memang bacaan Al-Qur’an imam yang mengimami shalat jamaah bermasalah. Seperti tidak sesuai standar tajwid karena faktor lisan yang cedal dan sampai mengubah susunan huruf bahkan mengubah terhadap makna dari bacaan wajib dalam shalat. Maka dalam keadaan demikian, tidak boleh bagi orang yang bacaan Al-Qur’annya benar untuk bermakmum pada imam yang bacaannya dalam kategori tersebut. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra:

وَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِمَنْ لَا يُحْسِنُ الْقِرَاءَةَ وَالْمُرَادُ بِعَدَمِ إِحْسَانِ الْقِرَاءَةِ الَّذِي الْكَلَامُ فِيهِ أَنْ يَكُونَ يُبَدِّلُ حَرْفًا بِآخَرَ أَوْ يَلْحَنُ لَحْنًا يُغَيِّرُ الْمَعْنَى أَمَّا غَيْرُ ذَلِكَ فَلَا يَمْنَعُ الْوُجُوبَ.

“Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk berjamaah dengan imam yang tidak baik bacaan Al-Qur’annya. Yang dimaksud dengan ‘Tidak baik bacaan Al-Qur’annya’ dalam pembahasan ini adalah sekiranya ia mengganti suatu huruf dengan huruf yang lain, atau ia membaca lahn (keliru) yang mengubah terhadap makna kata. Adapun selain ketentuan di atas, maka tetap tidak mencegah terhadap wajibnya (berjamaah shalat jum’at)” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz 1, hal. 152)

Jika memang shalat di masjid dengan cara di atas dianggap sudah dapat membuatnya terhindar dari gunjingan masyarakat setempat, maka untuk shalat-shalat selanjutnya boleh baginya untuk secara bergantian shalat berjamaah di rumah dan di waktu yang lain melaksanakan shalat dengan cara yang yang sama di masjid yang ada di sekitarnya. Sekiranya ia dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menghindari gunjingan dan cercaan masyarakat adalah hal yang patut untuk dihindari agar seseorang dapat berinteraksi dengan masyarakat secara baik, terlebih bagi tokoh masyarakat atau orang yang diproyeksikan nantinya akan menuntun masyarakat. Bahkan menghindari cercaan masyarakat ini merupakan hal yang dapat tetap mengabsahkan shalat iqtida’ shuratan (mengikuti imam hanya dalam gerakannya saja tanpa niat berjamaah dengannya). Wallahu a’lam.

- Saiful Chamdi

tag - perbedaan makmum dan imamkedudukan makmum dan imam
posisi makmum dan imamk edudukan makmum dan imam perempuan
arti makmum dan imamsyarat makmum dan imamb acaan makmum dan imam

No comments

Powered by Blogger.