Strategi Jitu Hadapi Radikalisme Wahabi
Inilah Strategi Jitu Hadapi
Radikalisme Wahabi
Portal Aswaja
Radikalisme wahabi yang paling berbahaya adalah upaya mereka
menafsirkan ayat-ayat Alqur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW sesuai hasrat
ideologi dan afiliasi politik mereka sendiri. Konyolnya lagi, karakter gerakan
mereka sangat narsis, kaku, dan arogan sehingga sulit sekali untuk diajak
kompromi. Dalam perkembangannya sekarang, Wahabi bergerak dengan tujuan
meruntuhkan aliran-aliran paham lain dan jika perlu juga meruntuhkan
pemerintahan yang mereka sebut sebagai thoghut termasuk pemerintahan Republik
Indonesia. Di sinilah letak bahaya pengaruh Wahabi.
Strategi Hadapi Wahabi
Sementara itu, Wakil Ketua Umum PBNU, KH As’ad Said Ali,
mensinyalir bahwa gerakan radikalisme Wahabi secara nyata memang sangat
mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurut Kiai
As’ad, gerakan Wahabi ini selain membid’ahkan amaliyah warga nahdliyyin (NU),
juga berusaha sekuat tenaga merebut posisi-posisi strategis di tengah kehidupan
masyarakat, bahkan di jajaran eksekutif, legsislatif, dan yudikatif. Lebih
lanjut dikatakan Kiai As’ad, gerakan Wahabi harus dihadapi dengan strategi, di
tengah kehidupan masyarakat kita jangan memberi peluang kepada penganut Wahabi
sebagai pemimpin, dan dalam kehidupan negara, diimbau agar dilakukan screening
yang ketat sehingga penganut Wahabi tidak mengobok-obok pemerintahan.
Singkat kata, gerakan Wahabi yang sudah terlanjur berkembang
ini harus dibendung, karena mereka tidak bersedia untuk diajak berdialog dan
berkompromi. Dalam praktiknya, implementasi strategi ini perlu didukung oleh
langkah-langkah lain hingga dapat dioptimalkan.
Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH
As’ad Said Ali meminta kepada segenap pengurus dan warga NU untuk mewaspadai
gerakan Wahabi di lingkungan masing-masing. Kiai As’ad menengarai, saat ini
gerakan Wahabi sudah cukup jauh menyusup ke tengah masyarakat, dan bahkan telah
masuk ke jajaran pemerintahan, sehingga pemerintah tampak tidak berdaya
menghadapinya.
Dalam menghadapi gerakan Wahabi, Prof Baharun mengingatkan
agar kita bersikap jeli dan hati-hati karena mereka menggunakan taktik
pengelabuan untuk mengecoh agar masyarakat mau menerima mereka dalam pergaulan.
Taktik tersebut, yakni mereka mengaku sebagai penganut ahlus sunnah wal jamaah
(aswaja) dan mengaku mengikuti Madzhab Empat, tetapi setelah mereka kita
terima, mereka membelokkan umat kepada ajaran-ajaran Wahabi.
Warga nahdliyin hingga saat ini telah berupaya menangkal
radikalisme Wahabi dengan cara mereka sendiri-sendiri, namun upaya itu tak
sebanding dengan gencarnya gerakan mereka. Mereka sudah lama melakukan kaderisasi,
pembukaan yayasan, pembentukan opini via berbagai media massa, media online,
media cetak, radio, TV dan penyebaran kader di pemerintahan dan parpol. Mereka
meluaskan pengaruh pada masyarakat. Sementara resistensi umat mayoritas
terhadap agresivitas mereka ini belum cukup memadai. Bahkan yang memprihatinkan
adalah beberapa masjid NU sudah dikuasai, sehingga hilanglah karakteristik
ke-NU-an yang selama ini dipertahankan.
Dalam kondisi objektif seperti ini, menurut Prof Baharun, sulit
sekali bila kita mau berupaya untuk merajut ukhuwwah dengan mereka. Karena
dalam kenyataannya pengaruh ‘radikal’ mereka kini sudah sangat sistemik di
tengah masyarakat, hingga timbul kekawatiran. Radikalisme Wahabi yang jelas
sekarang ini telah merusak soliditas persaudaraan di tengah umat dan lebih jauh
menampilkan potensi ancaman terhadap kelangsungan NKRI. Oleh karena itu, untuk
menghentikan gerakan radikalisme Wahabi diperlukan enam jurus:
Pertama, harus ada respons terhadap buku-buku dan ceramah
yang mereka terbitkan untuk meluruskan segala upaya tahrif dan takfir. Jaringan
para penerbit Aswaja harus lebih solid dalam melakukan radd (bantahan) terhadap
manuver mereka ini, karena mereka memiliki akses luas dan sumber-sumber
finansial yang besar untuk mengancam eksistensi Aswaja.
Kedua, membangun jaringan (networking) yang lebih luas untuk
mengembangkan pengaruh Aswaja dalam rangka revivalisme Aswaja di tengah
generasi muda yang kini sebagian mulai merasa goyah terkena virus aliran sesat
dan menyesatkan itu.
Ketiga, mewaspadai adanya konspirasi anti Pancasila dan NKRI
yang berbungkus agama, sehingga mempengaruhi sebagian umat, terutama remaja dan
mahasiswa yang dapat ditunggangi untuk kepentingan politik praktis mereka.
Kepentingan asing juga ikut berpengaruh dalam aktivisme ini.
Keempat, semua ponpes se-Indonesia- melalui RMI – menerapkan
kurikulum Aswaja, yang harus diajarkan sejak dini kepada para santri. Pemahaman
Aswaja tidak dibatasi pada kajian furu’ (perkara-perkara insidental) dalam
syari’ah, namun juga hendaknya dimulai dari telaah ushul (pokok-pokok yang
prinsipal) dalam ‘aqidah.
Kelima, NU harus mengusulkan agar manhaj Aswaja yang sudah
berakar diamalkan oleh umat NU, Muhammadiyah, Tarbiyah Islamiyah, Mathla’ul
Anwar, Persis, Rabithah ‘Alawiyah, dan Al-lrsyad. Alangkah baiknya bila manhaj
ini dikukuhkan pemerintah sebagai manhaj (faham) resmi negara.
Keenam, ukhuwwah yang sejati dan sungguh-sungguh harus
dimulai secara internal antar kalangan nahdliyyin dan intra antara ormas Islam
yang ada dalam koridar Aswaja
No comments