BREAKING NEWS :
Loading...

Kenapa Harus ASWAJA?

Kenapa  Kita Harus Beraqidah Ahlussunah wal Jamaáh???

Portal Aswaja





Pertanyaan yang sering kali muncul dalam masyarakat adalah kenapa kita harus beraqidah Aswaja tidak Salafi Wahabi atau yang lainnya?

Memang tidak bisa dipungkiri Aswaja menjadi salah satu bahkan satu satunya Aqidah yang selalu berada ditengah tengah dan menjadi Aqidah yang paling banyak dianut oleh umat muslim diseluruh dunia.

Sifat Aswaja yang lembut dan anti terhadap radikalisme itu sendiri yang membuat banyak umat muslim tertarik akan aqidah tersebut.


 A. Mukadimah
Sejak awal berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), organisasi ini telah menjelaskan jati dirinya sebagai institusionalisasi Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia. Sebagaimana tercatat dalam dokumen resmi Statuen Perkoempoelan Nahdlotoel ‘Oelama, NU menegaskan maksud utamanya yang mencerminkan identitas diri sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah.  Dalam dokumen tersebut dinyatakan:
“Fatsal 2: Adapoen maksoed perkoempulan ini jaoetu:  “Memegang tegoeh pada salah satoe dari madzhabnya Imam ampat,  jaitoe Imam Moehammad bin Idris Asj-Sjafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboehanifah An-Noe’man, atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan Agama Islam.”
Hal ini seiring penjelasan Raisul Akbar NU, Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari, dalam berbagai karyanya tentang siapa sebenarnya Ahlussunnah wal Jamaah.[1]
Namun di kalangan masyarakat, Ahlussunnah yang sudah sangat jelas terkaburkan dengan adanya klaim-klaim baru seputar Ahlussunnah wal Jama’ah dan upaya-upaya pengaburan (tasykik) tentang siapa sebenarnya Ahlussunnah wal Jama’ah. Sehingga terjadi perebutan identitas Ahlussunnah wal Jama’ah di antara banyak kalangan, baik di lingkup Nusantara maupun dalam lingkup internasional yang lebih luas.
Dalam konteks inilah diperlukan adanya pembahasan secara komprehensif mengenai mengapa umat Islam harus merujuk kepada Ahlussunnah wal Jama’ah dan siapakah sebenarnya mereka? Harapannya rumusan yang dihasilkan menjadi rujukan kokoh sekaligus praktis bagi semua kalangan.
B. Ulama Sebagai Rujukan dalam Memahami al-Quran dan al-Hadits
Bagi umat Islam, merujuk pada al-Qur’an dan al-Hadits merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar. Namun demikian, untuk memahami keduanya tentu tidak semudah membaca buku referensi lainnya. Al-Qur’an dan al-Hadits memiliki kandungan makna yang sangat luas, berkait erat dengan sejarah diturunkannya masing-masing ayat dan kental dengan bahasa sastra yang tidak mudah dipahami dengan sekedar membaca terjemahnya. Karenanya, untuk memahaminya diperlukan berbagai disiplin ilmu. Prinsip umum yang berlaku di kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah bersikap secara proporsional dalam beragama. Hal ini dilakukan dengan memahami al-Qur’an dan al-Hadits melalui para ahlinya, sesuai petunjuk al-Qur’an:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ. (النحل: 43\الأنبياء: 7)
“Maka bertanyalah kepada ahli zikir (ulama) jika kalian tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl: 34/al-Anbiya’: 7)
Menurut pakar Tafsir Ahlussunnah wal Jama’ah, al-Imam Muhammad bin Ahmad Abi Bakr al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M), maksud utama ayat ini adalah orang awam diharuskan mengikuti ulama dalam urusan agamanya sekaligus tidak boleh mengeluarkan fatwa karena keterbatasan pengetahuannya.[2] Demikian prinsip umum yang telah disepakati para ulama, selaras dengan pesan ayat al-Qur’an dan Hadits berikut ini:
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا. (النساء: 83)
“Dan ketika datang kepada mereka suatu urusan dari keamanan atau ketakutan, mereka langsung menyebarkannya. Andaikan mereka mengembalikannya kepada Rasulullah r dan kepada Ulil Amri (ulama), niscaya orang-orang (ulama) yang mampu memahaminya dari mereka akan mengetahuinya. Andaikan tidak ada anugerah dan rahmat Allah bagi kalian niscaya kalian akan mengikuti setan kecuali sedikit.” (QS. an-Nisa)[3]
عَنْ بُرَيْدَةَ t قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ r: اَلْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ: اِثْنَانِ فِي النَّارِ وَوَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ. رَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ، فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ، وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَلَمْ يَقْضِ بِهِ وَجَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ لَمْ يَعْرِفِ الْحَقَّ فَقَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ. (رَوَاهُ اَلْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ)
“Diriwayatkan dari Buraidah t ia berkata: “Rasulullah r bersabda: “Qadhi/hakim ada tiga macam: (1) orang yang mengetahui kebenaran dan menghukumi dengannya, maka ia di surga; (2) orang yang mengetahui kebenaran lalu tidak menghukumi dengannya dan justru menyimpang dalam hukumnya, maka ia di neraka; (3) dan orang yang tidak mengetahui kebenaran lalu memberi keputusan hukum bagi manusia berdasarkan kebodohan, maka ia di neraka.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibn Majah dan disahihkan oleh al-Hakim)
Ulama yang menjadi rujukan di sini adalah orang-orang yang mengetahui berbagai hukum syariat yang menjadi standar keabsahan beragama, baik dalam bidang akidah maupun amaliah. Secara lebih jelas mereka adalah as-Salaf as-Shalih dan orang-orang yang mengikutinya. Dalam tataran praktis, hingga dewasa ini dalam bidang akidah mereka terkumpul pada mazhab Asy’ari-Maturidi dan yang sesuai dengannya, dalam bidang fikih terhimpun dalam Mazhab Empat dan dalam bidang tasawuf mengikuti pola pendekatan al-Junaid dan al-Ghazali, yang semuanya mendapatkan legitimasi ilmiah dari para ulama lintas generasi.[4]
C. Mengapa Harus Mengikuti Ahlussunnah wal Jama’ah?
Urgensi mengikuti Ahlussunnah wal Jamaah berangkat dari petunjuk hadits perpecahan umat yang menegaskan, bahwa kelompok yang selamat dari neraka hanya Ahlussunnah wal Jam’aah, sebagaimana hadits-hadits berikut:
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ t قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ r: اِفْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ؛ وَافْتَرَقَتْ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ؛ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَاثْنَتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ. قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَنْ هُمْ؟ قَالَ: اَلْجَمَاعَةُ. (رواه ابن ماجه)
“Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik t, ia berkata: “Rasulullah r bersabda: “Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, satu golongan di surga dan 70 golongan di neraka; umat Nasrani terpecah menajdai 72 golongan, 71 golongan di neraka dan satu golongan di surga; dan demi Zat yang diri Muhammad ada dalam kekuasaan-Nya, sungguh umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, satu golongan di surga dan 72 golongan di neraka.” (HR. Ibn Majah)
اِفْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوِ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَالنَّصَارَى كَذَلِكَ، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً. قَالُوا: مَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي. (رواه أبو داود والترمذي والحاكم وابن حبان  وصححوه)
“Umat Yahudi terpecah menjadi 71  atau 72 golongan, begitu pula umat Nasrani; dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan.” Para Sahabat bertanya: “Siapa golongan itu, wahari Rasululllah?” Beliau menjawab: “Yaitu golongan yang memedomani ajaran yang aku dan para sahabatku pedomani.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Hakim, Ibn Hibban dan dishahihkan oleh mereka)
Selaras dengan ungkapan Imam al-Ghazali saat menyitir hadits: [5]
اَلنَّاجِي مِنْهَا وَاحِدَةٌ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَنْ هُمْ؟ قَالَ: أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ. فَقِيلَ: وَمَنْ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ. قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي. [6]
 “Golongan yang selamat dari umat Islam adalah satu golongan.” Para Sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, siapa mereka?” Rasulullah Saw menjawab: “Mereka adalah Ahlussunnah wal Jama’ah.” Lalu ditanyakan: “Siapa Ahlussunnah wal Jama’ah?” Beliau menjawab: “Yaitu golongan yang memedomani ajaran yang aku dan para sahabatku pedomani.”
Beberapa hadits di atas dan hadits-hadits semisalnya[7] mengantarkan pada pemahaman, bahwa di tengah perpecahan umat Islam yang selamat hanya satu golongan, yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah yang konsisten memedomani ajaran yang dipedomani Rasulullah r dan para Sahabat y.
D. Mazhab Asy’ari dan Maturidi Sebagai Representasi
Ahlussunnah wal Jama’ah Sebenarnya
Lalu siapakah Ahlussunnah wal Jama’ah yang sebenarnya? Kelompok manakah di antara berbagai kelompok umat Islam yang konsisten pada ma ana ‘alaihi wa ashabi, memedomani ajaran yang dipedomani Rasulullah r dan para Sahabatnya y? Apa argumentasinya? Karena setiap orang dan setiap kelompok dapat mengklaim sebagai Ahlussunah wal Jama’ah.
Pertanyaan-pertanyaan ini setidaknya dapat dijawab dari tiga faktor: 1) faktor historis terkait peran al-Asy’ari dan al-Maturidi dan generasi penerusnya dalam mencounter propaganda-propaganda yang menyimpang dari pemahaman Islam, (2) faktor legitimasi dari para ulama ahli tauhid, ahli hadits (dan selainnya); (3) pendekatan empirik seputar konsistensi Asyairah dan Maturidiyyah memedomani petunjuk ulama-ulama tersebut, konsisten mewarisi dan menjaga khazanahnya dan menempuh metodologinya baik dalam permasalahan ushul maupun furu’.
  1. Faktor Historis Peran Asy’ari dan Maturidi
Pada masa Rasulullah r sebenarnya umat Islam bersatu padu dalam akidah dan amaliah keagamaannya, tanpa perbedaan yang menjurus pada jurang perpecahan dan fanatisme golongan. Pasca Rasulullah r wafat, sampai masa kepemimpinan Umar bin al-Khatthab t, keadaan masih kondusif dan tidak ada perbedaan signifikan. Baru mulai masa kepemimpinan Utsman bin ‘Affan t, perbedaan mulai muncul dan semakin tajam ketika sampai pada kepemimpinan Ali t. Pada masa inilah perbedaan yang menjurus pada perpecahan mulai mengemuka sehingga muncul Khawarij yang keluar dari ketaatan terhadap Ali t bahkan berbalik memeranginya. Di sisi yang berlawanan, munculnya Syi’ah sebagai kelompok yang berlebihan dalam mencintai dan fanatik terhadapnya.
Tak terhindarkan, kemudian kedua golongan tersebut terpecah ke dalam berbagai golongan dan masing-masing saling berlomba-lomba menyebarkan propaganda untuk menarik masa kepada mereka. Namun demikian, justru setelah itu muncul aliran-aliran lain yang saling merasa benar dan semakin membuat perpecahan. Sampai masa-masa akhir generasi Tabi’in, muncul Mu’tazilah yang menamakan dirinya sebagai Ahl al-‘Adl wa at-Tauhid. Pada masa ini pula Ahlussunnah wal Jama’ah mengemuka menjadi nama bagi umat Islam yang konsisten memedomani ajaran Nabi r dan para Sahabat y baik dalam bidang akidah, amaliah maupun akhlak batiniah.[8]
Secara lebih detail, merujuk catatan sejarawan terkemuka Abdurrahman Ibn Khaldun (732-808 H/1332-1406 M) dalam karyanya Muqaddimah, sebelum Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H/874-936 M) terkenal sebagai pemuka Ahlussunnah wal Jama’ah, telah muncul sekte Mujassimah-Musyabbihah (tekstualistik) yang menyifati Allah dengan sifat-sifat makhuk berdasarkan ayat-ayat mutasyabihat, yang jelas-jelas bertentangan dengan akidah tanzih Ulama Salaf yang menyifati Allah wujud dan tidak bersifat dengan sifat makhlukKemudian muncul sekte Mu’tazilah (yang bercorak rasionalistik) yang sangat bertolak belakang dengannya, yang justru menafikan sifat-sifat Allah seperti ‘ilmu, qudrah, iradah dan semisalnya. Bahkan menganggap al-Qur’an sebagai makhluk, yang juga sangat bertentangan dengan pemahaman ulama Salaf. Seiring berkembangnya pemahaman kedua sekte tersebut ke tengah umat, bangkitlah Ahlussunnah wal Jama’ah untuk menolaknya.
Dalam konteks ini Abu al-Hasan al-Asy’ari yang hidup di Baghdad, tampil sebagai pelopor yang mampu mengambil jalan tengah (tawassuth) berbagai pemahaman yang berseberangan dengan menafikan tasybih yang diyakini kaumMusyabbihah dan di sisi lain menetapkan sifat-sifat ma’ani Allah yang dinafikan oleh Mu’tazilah. Kemudian perannya dilanjutkan generasi penerusnya seperti Ibn Mujahid, al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani, Imam al-Haramain, Imam al-Ghazali, Imam Fakhruddin ar-Razi dan selainnya.[9]
Dalam waktu yang relatif bersamaan, di Maturid kota kecil wilayah Samarkand yang dulu terkenal dengan nama Ma Wara`a an-Nahr (Uzbekistan, Asia Tengah) tampil Abu Manshur al-Maturidi (238 H/+  852 M-333 H/944 M) sebagai pioner menghadapi berbagai aliran pemikiran di lingkungannya, seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Karamiyyah, Mujassimah, kaum Shofis dan bahkan pengaruh dari luar agama Islam, seperti Budha dan Kristen.[10]
Munculnya kedua tokoh besar Ahlusunnah wal Jama’ah ini bukan berarti mereka merupakan penggagas akidah baru dalam Islam, tetapi merupakan ulama yang telah berjasa besar menjaga akidah sesuai tantangan zamannya.[11]Bukan berarti pula mereka bertentangan dengan para ulama sebelumnya seperti Imam Mazhab Empat, namun justru mereka tampil menjawab propaganda yang semakin gencar menggerus akidah umat Islam yang lebih sangat dibutuhkan pada masanya, seperti para Imam Mazhab Empat yang lebih fokus dan konsentrasi pada fikih sesuai kebutuhan zamannya.[12]
  1. Faktor Legitimasi Ulama
Legitimasi ulama yang dinukil (dikutip) dari ulama ahli tauhid, ahli hadits (selainnya) menegaskan, Asyairah dan Maturidiyyah merupakan representasi Ahlussunnah wal Jama’ah sebenarnya,[13] yang di antaranya adalah:
  1. ‘Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H/1037 M), pakar akidah penulis Ushul ad-Din dan al-Farq bain al-Firaq:
ثُمَّ بَعْدَهُمْ شَيْخُ النَّظَرِ وَإِمَامُ الْآفَاقِ فِي الْجَدَلِ وَالتَّحْقِيقِ، أَبُو الْحَسَنِ عَلِي بْنُ إِسْمَاعِيلِ الْأَشْعَرِيِّ الَّذِي صَارَ شَجًا فِي حُلُوقِ الْقَدَرِيَّةِ وَالنَّجَّارِيَّةِ وَالْجَهْمِيَّةِ وَالْجِسْمِيَّةِ وَالرَّوَافِضِ وَالْخَوَارِجِ. وَقَدْ مَلَأَتِ الدُّنْيَا كُتُبُهُ، وَمَا رُزِقَ أَحَدٌ مِنَ الْمُتَكَلِّمِينَ مِنَ التَّبَعِ مَا قَدْ رُزِقَ، لِأَنَّ جَمِيعَ أَهْلِ الْحَدِيثِ وَكُلُّ مَنْ لَمْ يَتَمَعْزَلْ مِنْ أَهْلِ الرَّأْيِ عَلَى مَذْهَبِهِ. اهـ. [14]
“Kemudian setelah generasi murid Abdullah bin Sa’id at-Tamimi (seperti Abdul Aziz al-Makki al-Kattani dan al-Junaid al-Baghdadi), ada pakar analisis ilmiah, perdebatan dan tahqiq, yaitu Abu al-Hasan ‘Ali bin Isma’il al-Asy’ari yang mengcounter total sekte Qadariyyah, Jahmiyyah, Mujassimah, Rawafidh dan Khawarij. Karya-karyanya menyebar seantero dunia. Tidak ada pakar akidah yang diberi anugerah pengikut sebanyak pengikutnya, sebab seluruh Ahl al-Hadits dan selurh Ahl ar-Ra’yi yang tidak condong pada mu’tazilah memedomani mazhabnya.”
  1. Abu Ishaq as-Syirazi (393-476 H/1003-1083 M), pakar fikih Syafi’i penulis al-Muhaddzab:
وَأَبُو الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيُّ إِمَامُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَعَامَةُ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ عَلَى مَذْهَبِهِ وَمَذْهَبُهُ مَذْهَبُ أَهْلِ الْحَقِّ. [15]
“Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah Imam Ahlussunnah wal Jama’ah, mayoritas Ashab as-Syafi’i memedomani mazhabnya, dan mazhabnya adalah mazhab Ahl al-Haq.”
  1. Ibn ‘Asakir (542-610 H/1147-1213 M), pakar fikih Syafi’i sekaligus pakar akidah, dan Abu Abdillah ad-Dzahabi al-Hafizh (673-748 H/1274-1248 M) ahli hadits dan sejarawan ternama:
وَجَدْتُ بِخَطِّ بَعْضِ الثِّقَاتِ: مَا قَوْلُ السَّادَةُ الْفُقَهَاءُ فِي قَوْمٍ اجْتَمَعُوا عَلَى لَعْنِ الْأَشْعَرِيَّةِ وَتَكْفِيرُهُمْ؟ وَمَا الَّذِي يَجِبُ عَلَيْهِمْ؟ أَفْتَوْنَا. فَأَجَابَ جَمَاعَةٌ، فَمِنْ ذَلِكَ: اَلْأَشْعَرِيَّةُ أَعْيَانُ السُّنَّةِ، اِنْتَصَبُوا لِلرَّدِّ عَلَى الْمُبْتَدِعَةِ مِنَ الْقَدَرِيَّةِ وَالرَّافِضَةِ وَغَيْرِهِمْ. فَمَنْ طَعَنَ فِيهِمْ فَقَدْ طَعَنَ عَلَى أَهْلِ السُّنَّةِ، وَيَجِبُ عَلَى النَّاظِرِ فِي أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ تَأْدِيبُهُ بِمَا يَرْتَدِعُ بِهِ كُلُّ أَحَدٍ. [16]
“Aku (Ibn ‘Asakir) menemukan tulisan pertanyaan sebagian ulama tsiqah: ‘Apa pendapat para ahli fikih tentang suatu kaum yang berkumpul untuk melaknat Asy’ariyyah dan mengafirkannya? Apa hukuman bagi mereka? Mohon kami diberi fatwa. Lalu segolongan ulama menjawab, yang di antaranya adalah: ‘Asy’ariyyah adalah Ahlussunnah wal Jama’ah sebenarnya. Mereka konsisten mengcounter golongan-golongan bid’ah dari Qadariyah, Rafidhah dan selainnya. Karenanya, orang yang mencaci-maki mereka berarti telah mencaci-maki Ahlussunnah wal Jama’ah, dan bagi pemerintah wajib mengukumnya dengan hukuman yang dapat memberi efek jera kepada siapapum.”
  1. ‘Adhuddin al-Iji (w. 756 H/1355 M), pakar Ushul dan akidah penulis al-Mawaqif dan al-‘Aqa’id al-‘Adhadiyyah:
وَأَمَّا الْفِرْقَةُ النَّاجِيَةُ الْمُسْتَثْنَاةُ الَّذِينَ قَالَ النَّبِيُّ r فِيهِمْ: هُمُ الَّذِينَ عَلَى مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي، فَهُمُ الْأَشَاعِرَةُ وَالسَّلَفُ مِنَ الْمُحَدِّثِينَ وَأَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، وَمَذْهَبُهُمْ خَالٍ عَنْ بِدَعِ هَؤُلَاءِ. [17]
 “Adapun golongan yang selamat yang dikecualikan dalam hadits, yang mereka disabdakan oleh Nabi r: ‘Mereka adalah orang-orang yang memedomani ajaran yang Aku dan Sahabatku pedomani’, adalah ‘Asya’irah dan Ahli Hadits dari generasi Salaf, dan (mereka adalah) Ahlussunnah wal Jama’ah. Mazhabnya tersucikan dari bid’ah berbagai golongan yang sesat.”
  1. Tajuddin as-Subki (727-771 H/1327-1370 M), pakar fikih Syafi’i:
وَلَا يَخْفَى أَنَّ الْأَشَاعِرَةَ إِنَّمَا هُمْ نَفْسُ أَهْلِ السُّنَّةِ أَوْ هُمْ أَقْرَبُ النَّاسِ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ. [18]
“Dan tidak samar lagi, bahwa Asya’irah lah Ahlussunah wal Jama’ah sebenarnya, atau mereka lah golongan yang paling identik pada Ahlussunnah wal Jama’ah.”
  1. Abu Nashr ad-Dawani (830-918 H/1427-1512 M), pakar fikih Syafi’i dan pakar akidah, penulis Syarh al-‘Aqa’id al-‘Adhadiyyah:
اَلْفِرْقَةُ النَّاجِيَةُ وَهُمُ الْأَشَاعِرَةُ، أَيِ التَّابِعُونَ فِي الْأُصُـولِ لِلشَّيْخِ أَبِي الْحَسَـنِ … فَإِنَّهُمْ مُتَمَسِّكُونَ فِي عَقَائِدِهِمْ بِالْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ الْمَنْقُولَةِ عَنْهُ r وَعَنْ أَصْحَابِهِ، وَلَا يَتَجَاوَزُونَ عَنْ ظَوَاهِرِهَا إِلَّا لِضَرُورَةٍ، وَلَا يَسْتَرْسِلُونَ مَعَ عُقُولِهِمْ كَالْمُعْتَزِلَةِ. [19]
“Golongan yang selamat adalah Asya’irah, maksudnya orang-orang yang dalam akidah mengikuti Syaikh Abu al-Hasan al-Asy’ari … Sebab dalam akidah mereka berpedoman dengan hadits-hadits shahih yang dinukil dari Nabi r dan para Sahabatnya. Mereka tidak melewati makna lahiriahnya kecuali karena kondisi darurat dan tidak membebaskan akal sebebas-bebasnya sebagaimana Mu’tazilah.”
  1. Ibn Hajar al-Haitami (909-974 H/1504-1567 M), pakar fikih Syafi’i:
وَسُئِلَ الْإِمَامُ ابْنُ حَجَرِ الْهَيْتَمِيَّرَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى عَنِ الْإِمَامِ أَبِي الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيِّ وَالْبَاقِلَانِي وَابْنِ فَوْرَكْ وَإِمَامِ الْحَرَمَيْنِ وَالْبَاجِيّ وَغَيْرِهِمْ مِمَّنْ أَخَذَ بِمَذْهَبِ الْأَشْعَرِيِّ، فَأَجَابَ: هُمْ أَئِمَّةُ الدِّينِ وَفُحُولِ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ، فَيَجِبُ الْاِقْتِدَاءُ بِهِمْ لِقِيَامِهِمْ بِنُصْرَةِ الشَّرِيعَةِ وَإِيضَاحِ الْمُشْكِلَاتِ وَرَدِّ شُبَهِ أَهْلِ الزَّيْغِ وَبَيَانِ مَا يَجِبُ مِنَ الْاِعْتِقَادَاتِ وَالدَّيَانَاتِ، لِعِلْمِهِمْ بِاللهِ وَمَا يَجِبُ لَهُ وَمَا يَسْتَحِيلُ عَلَيْهِ وَمَا يَجُوزُ فِي حَقِّهِ … وَالْوَاجِبُ الْاِعْتِرَافُ بِفَضْلِ أُولٓئِكَ الْأَئِمَّةِ الْمَذْكُورِينَ فِي السُّؤَالِ وَسَابِقِيهِمْ، وَأَنَّهُمْ مِنْ جُمْلَةِ الْمُرَادِينَ بِقَوْلِهِ r: يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ، يَنْفُونَ عَنْهُ تَحْرِيفَ الْغَالِينَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِينَ، وَتَأْوِيلَ الْجَاهِلِينَ. [رواه ابن عدي وأبو نصر السجزي في الابانة وأبو نعيم، والبيهقي وابن عساكر. وصحيح عند أحمد]. فَلَا يَعْتَقِدُ ضَلَالَتَهُمْ إِلَّا أَحْمَقُ جَاهِلٌ أَوْ مُبْتَدِعٌ زَائِغٌ عَنِ الْحَقِّ، وَلَا يَسُبُّهُمْ إِلَّا فَاسِقٌ، فَيَنْبَغِي تَبْصِيرُ الْجَاهِلِ وَتَأْدِيبُ الْفَاسِقِ وَاسْتِتَابَةُ الْمُبْتَدِعِ. [20]
“Imam Ibn Hajar al-Haitami-rahimahhullahu ta’aala-ditanya tentang Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, al-Baqillani, Ibn Faurak, Imam al-Haramain, al-Baji ulama lainnya yang mengikuti mazhab al-Asy’ari, lalu beliau menjawab: ‘Mereka adalah pemuka-pemuka agama dan tokoh besar ulama kaum muslimin, sehingga waki mengikuti mereka karena jasa besarnya dalam menolong syariat, mengurai kemuskilan, mencounter propaganda-propaganda orang-orang yang menyimpang dan telah menjelaskan akidah dan ajaran agama yang wajib diyakini, karena pengetahuan mereka terhadap Allah, sifat-sifat yang wajib, mustahil dan jaiz bagi-Nya … dan wajib mengakui keutamaan para Imam yang disebutkan dalam pertanyaan tersebut serta pendahulu mereka, dan mengakui bahwa mereka termasuk orang-orang yang dikehendaki dalam sabda Nabi r: ‘Yang membawa ilmu agama ini dari setiap generasi adalah orang-orang adilnya, yang  membersihkannya dari penyimpangan orang-orang yang melampaui batas, klaim orang-orang batil, dan ta’wil orang-orang bodoh.’ [Hadits riwayat Ibn Adi, Abu Nashr as-Sijzi, Abu Nu’aim, al-Baihaqi, dan Ibn Asakir. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, hadits tersebut shahih.] Karenanya,tidak ada yang menganggap mereka sesat kecuali orang pandir yang bodoh atau ahli bid’ah yang menyimpang dari kebenaran, dan tidak ada yang mencaci-maki mereka kecuali orang yang fasik. Hendaknya orang bodoh diberi pemahaman, orang fasik diberi sanksi dan ahi bid’ah diperintah bertobat.”
  1. Abu al-Baqa’ al-Kafawi (w. 1094 H/1683 M), pakar fikih Hanafi penulis al-Kuliyyat:
وَالْمَشْهُورُ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ فِي دِيَارِ خُرَاسَانَ وَالْعِرَاقِ وَالشَّامِ وَأَكْثَرِ الْأَقْطَارِ هُمُ الْأَشَاعِرَةُ أَصْحَابُ أَبِي الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيِّ مِنْ نَسْلِ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ مِنْ أَصْحَابِ الرَّسُولِ؛ وَفِي دِيَارِمَا وَرَاءَ النَّهَرِ وَالرُّوم ِأَصْحَابُ أَبِي مَنْصُورِ الْمَاتُرِيدِيِّ. [21]
“Dan Ahlussunnah wal Jama’ah yang masyhur di negeri Khurasan, Irak, Syam dan mayoritas negeri-negeri lainnya adalah Asya’irah, yaitu pengikut Abu al-Hasan al-Asy’ari yang termasuk cucu dari sabahat Rasulullah r Abu Musa al-Asy’ari; sedangkan di negeri-negeri Ma Wara’ an-Nahr dan Rum adalah pengikut Abu Manshur al-Maturidi.”
  1. Al-Imam al-Hafizh az-Zabidi (1145-1205 H/1732-1790 M), pakar hadits dan penulis Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Syarh Ihya’ Ulum ad-Din:
إِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فَالْمُرَادُ بِهِمُ اْلأَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّةُ. [22]
“Ketika diungkapkan kata ‘Ahlussunnah wal Jama’ah’, maka yang dikehendaki adalah Asya’irah dan Maturidiyyah.”
Di Indonesia, legitimasi ini diperkuat oleh transmisi mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi sejak awal dibangun oleh para penyebar Islam di kepulauan Nusantara ini melalui ulama yang tergabung dalam organisasi Walisongo. Berdasarkan temuan dan catatan para sejarawan, ditegaskan bahwa Walisongo dalam hal fikih mengikuti mazhab as-Syafi’i dan dalam hal teologi mengikuti mazhab al-Asy’ari. Tentu saja ajaran-ajarannya bersumber dari generasi ulama sebelum mereka dalam struktur genealogi yang kokoh. Di antara sanad keilmuan yang sampai kepada generasi ulama seangkatan Hadhratus Syaikh KH. Mohammad Hasyim Asy’ari dan para kiai pendiri NU di Tanah Air adalah sebagaimana berikut:
  1. Sanad Mazhab al-Asy’ari
    • Syaikh as-SunnahImam al-Mutakallimin Abu al-Hasan al-Asy’ari (270-330 H/883-947 M).
    • Syaikh al-Mutakallimin Abu al-Hasan al-Bahili.
    • Ruknuddin al-Ustadz Abu Ishaq al-Asfarayini (w. 418 H/ 1027 M). Pengarang al-Jami’ fi Ushul ad-Din wa al-Radd ‘ala al-Mulhidin.
    • Al-Ustadz Abu al-Qasim Abdul Jabbar bin Ali bin Muhammad bin Haskan al-Asfarayini al-Iskaf (w. 452 H/1034 M).
    • Imam al-Haramain Dhiyauddin Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah al-Juwaini (419-478 H/1028-1085 M).
    • Abu al-Qasim Salman bin Nashir bin Imran al-Anshari al-Arghiyani (w. 512 H/1118 M). Pengarang Syarh al-Irsyad ila Qawathi’ al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad.
    • Dhiyauddin Umar bin al-Husain ar-Razi (hidup sebelum 559 H/1164 M). Pengarang Syarh al-Irsyad ila Qawathi’ al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad.
    • Fakhruddin Muhammad bin Umar ar-Razi (544-606 H/1150-1210 M).
    • Syarafuddin Abu Bakar Muhammad bin Muhammad al-Harawi.
    • Al-Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdullah al-Taftazani.
    • Al-Hafizh Sirajuddin Umar bin Ali al-Qazwini (683-750 H/ 1284-1349 M).
    • Majduddin Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub al-Lughawi al-Syirazi al-Fairuzabadi (729-817 H/1329-1415 M).
    • Al-Hafizh Taqiyyuddin Muhammad bin Muhammad bin Fahad al-Makki as-Syafi’i al-‘Alawi al-Hasyimi (787-871 H/ 1385-1466 M).
    • Syaikh al-Islam, Qadhi al-Qudhat Zainuddin Abu Yahya Zakariya bin Muhammad al-Anshari (826-926 H/1423-1520 M). Penulis Ihkam ad-Dilalah ‘ala Tahrir ar-Risalah dan Fath al-Ilah al-Majid bi-Idhah Syarh al-‘Aqaid.
    • Syamsuddin Muhammad bin Ahmad ar-Ramli (919-1004 H/1513-1596 M).
    • Ahmad bin Muhammad al-Ghunaimi (964-1044 H/1557-1634 M).
    • Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin al-‘Ala’ al-Babili as-Syafi’i al-Azhari (1000-1077 H/1591-1666 M).
    • Abdullah bin Salim al-Bashri al-Makki as-Syafi’i (1048-1134 H/1638-1722 M).
    • Salim bin Abdullah al-Bashri as-Syafi’i (w. 1160 H/1747 M).
    • Syamsuddin Muhammad bin Muhammad ad-Dafari as-Syafi’i (w. setelah 1161 H/ M).
    • Isa bin Ahmad al-Barawi az-Zubairi as-Syafi’i (w. 1182 H/ 1768 M). Pengarang Hasyiyah ‘ala Syarh Jauharah at-Tauhid karya al-Laqqani.
    • Muhammad bin Ali as-Syanawani as-Syafi’i (w. 1233 H/1818 M). Pengarang Hasyiyah ‘ala Syarh Jauharat at-Tauhid karya al-Laqqani.
    • Utsman bin Hasan ad-Dimyathi.
    • Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (1231-1304 H/1816-1886 M).
    • Sayyid Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi al-Husaini as-Syafi’i (w. 1310 H/1892 M).
    • Muhammad Mahfuzh bin Abdullah at-Tarmasi (1285-1338 H/1868-1920 M).
    • Ulama Tanah Air, seperti Moh. Hasyim Asy’ari Jombang, KH. Nawawi bin Nur Hasan Pasuruan, KH. Muhammad Baqir Yogyakarta, KH. Abdul Wahhab Hasbullah Jombang, KH. Baidhawi bin Abdul Aziz Lasem, KH. Ma’shum bin Ahmad Lasem, KH. Muhammad Dimyathi Termas, KH. Shiddiq bin Abdullah Jember, KH. Muhammad Faqih bin Abdul Jabbar Maskumambang, KH. Abbas Buntet Cirebon dan lain-lain.
  2. Sanad Mazhab al-Maturidi
    • Abu Manshur al-Maturidi (w. 333 H/945 M).
    • Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa bin Isa al-Bazdawi (w. 390 H/1000 M).
    • Husain bin Abdil Karim al-Bazdawi.
    • Muhammad bin Husain al-Bazdawi.
    • Al-Qadhi Shadr al-Islam Abu al-Yusr Muhammad bin Muhammad bin Husain al-Bazdawi (421-493 H/1030-1100 M).
    • Al-Hafizh Najmuddin Umar bin Muhammad an-Nasafi (461-537 H/1068-1142 M).
    • Muhammad bin Muhammad bin Nashr an-Nasafi (w. 693 H/1294 M).
    • Husamuddin Husain bin Ali as-Saghnaqi (w. 711 H/1311 M). Pengarang Syarh at-Tamhid li Qawa’id at-Tauhid.
    • Abu Muhammad Abdullah bin Hajjaj al-Kasyqari.
    • Syamsuddin Muhammad al-Qurasyi.
    • Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (773-852 H/1372-1449 M).
    • Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari (826-926 H/1423-1520).
    • Syamsuddin Muhammad bin Ahmad ar-Ramli (919-1004 H/1513-1596 M).
    • Ahmad bin Muhammad bin Yunus al-Qusyasyi ad-Dajani al-Husaini (991-1071 H/1583-1661 M).
    • Burhanuddin Abu al-‘Irfan al-Mulla Ibrahim bin Hasan al-Kurani (1025-1101 H/1616-1690 M).
    • Burhanuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Budairi al-Husaini ad-Dimyathi al-Asy’ari as-Syafi’i, populer dengan sebutan Ibn al-Mayyit (w. 1131 H/1719 M).
    • Muhammad bin Muhammad bin Hasan al-Munir as-Samanhudi as-Syafi’i (1099-1199 H/1688-1785 M).
    • Muhammad bin Ali as-Syanawani ( 1233 H/1818 M).
    • Utsman bin Hasan ad-Dimyathi.
    • Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (1231-1304 H/1816-1886 M).
    • Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi ( 1310 H/1892 M).
    • Syaikh Muhammad Mahfuzh bin Abdullah at-Tarmasi (1285-1338 H/1868-1920 M).
    • Ulama Tanah Air seperti Moh. Hasyim Asy’ari Jombang, KH. Nawawi bin Nur Hasan Pasuruan, KH. Muhammad Baqir Yogyakarta, KH. Abdul Wahhab Hasbullah Jombang, KH. Baidhawi bin Abdul Aziz Lasem, KH. Ma’shum bin Ahmad Lasem, KH. Muhammad Dimyathi Termas, KH. Shiddiq bin Abdullah Jember, KH. Muhammad Faqih bin Abdul Jabbar Maskumambang, KH. Abbas Buntet Cirebon dan lain-lain.[23]
Demikian sanad mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi yang sampai kepada para ulama pendiri organisasi Nahdlatul Ulama. Selain itu, masih banyak jalur-jalur lain yang menyambungkan mata rantai akidah Ahlussunnah wal Jama’ah kepada ulama terdahulu, hingga kepada Rasulullah r.[24]
Validitas sanad yang sangat kuat ini selaras dengan beberapa atsar dari para Tabi’in yang menekankan pentingnya sanad keilmua dalam Islam, sebagaimana dicatat Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya:
قَالَ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ: إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ. (رواه مسلم)
“Muhammad bin Sirin berkata: ‘Sungguh ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama.”(Riwayat Muslim)
قَالَ طَاوُسُ: إِنْ كَانَ صَاحِبُكَ مَلِيًّا فَخُذْ عَنْهُ. (رواه مسلم)
“Thawus berkata: ‘Bila temanmu adalah orang yang terpercaya, maka ambillah ilmu darinya.” (Riwayat Muslim)
يَقُولُ عَبْدُ الله بْنَ الْمُبَارَكِ: اَلإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ وَلَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ. (رواه مسلم)
“Abdullah bin Mubarak berkata: ‘Sanad merupakan bagian dari agama, andaikan tidak ada sanad niscaya siapa saja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya.” (Riwayat Muslim)
  1. Faktor Empirik
Pendekatan empirik seputar konsistensi Asya’irah dan Maturidiyyah memedomani petunjuk Nabi Muhammad r dan para Sahabat y, mewarisi dan menjaga khazanahnya, dan menempuh metodologinya baik dalam permasalahan ushulmaupun furu’ dan selainnya, membuktikan bahwa mereka merupakan kelompok yang paling representatif sebagai wujud nyata Ahlussunnah wal Jama’ah. Sebab, akidah Asyairah dan Maturidiyyah merupakan akidah Islam sebenarnya yang sesuai dengan akidah Imam Mazhab Empat, akidah ulama-ulama sebelumnya hingga para Sahabat y, sebagaimana disampaikan oleh al-Isfirayaini dalam at-Tabshir ad-Din setelah menjelaskan akidah-akidah Ahlussunnah wal Jama’ah secara lengkap.[25] Sehingga konsistensi yang terbukti secara nyata ini semakin meneguhkan, bahwa Asya’irah dan Maturidiyyah adalah representasi Ahlussunnah wal Jama’ah yang sebenarnya.   
Referensi : 
[1] Muhammad Hasyim Asy’ari al-Jumbani, Ziyadah Ta’liqat ‘ala Manzhumah as-Syaikh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani,(Jombang: Maktabah at-Turats al-Islami, tth.), 23-24:
أَمَّا أَهْلُ السُّنَةِ، فَهُمْ أَهْلُ التَّفْسِيرِ وَالْحَدِيْثِ وَالْفِقْهِ. فَإِنَّهُمْ الْمُهْتَدُوْنَ الْمُتَمَسِّكُوْنَ بِسُنَّةِ النَّبِيِّ r والْخُلَفَاءِ بَعْدَهُ الرَّاشِدِيْنَ. وَهُمْ الطَّائِفَةُ النَّاجِيَةُ. قَالُوْا وَقَدِ اجْتَمَعَتِ الْيَوْمَ فِي مَذَاهِبَ أَرْبَعَةٍ: اَلحَنَفِيُّوْنَ وَالشَّافِعِيُّوْنَ وَالْمَالِكِيُّوْنَ وَالْحَنْبَلِيُّوْنَ …
[2] Muhammad bin Ahmad Abi Bakr al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Bairut: Mu’assasah ar-Risalah, 1427 H/2006 M), XIV/179:
سألة: لم يختلف العلماء أن العامة عليها تقليد علمائها، وأنهم المراد بقول الله عز وجل: فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ (النحل: 43\الأنبياء: 7). وأجمعوا على أن الأعمى لا بدله من تقليد غيره ممن يثق بميزة بالقبلة إذا أشكلت عليه ؛ فكذلك من لا علم له ولا بصر بمعنى ما يدين به لا بد له من تقليد عالمه ، وكذلك لم يختلف العلماء أن العامة لا يجوز لها الفتيا ؛ لجهلها بالمعاني التي منها يجوز التحليل والتحريم.
[3] Muhammad ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Bairut: 1401 H/1981 M), X/206:
الآية دالة على أمور. أحدها: أن في أحكام الحوادث ما لا يعرف بالنص بل بالاستنباط. وثانيها: أن الاستنباط حجة. وثالثها: أن العامي يجب عليه تقليد العلماء في أحكام الحوادث …
[4] Ahmad bin Muhammad al-‘Adawi ad-Dardir al-Maliki, Syarh al-Kharidah al-Bahiyyah, edisi Abdussalam bin Abdil Hadi Syannar, 192-194:
(وَاتْبَعْ) فِي سَيْرِكَ (سَبِيلَ) أَيْ طَرِيقَ (النَّاسِكِينَ) جَمْعُ نَاسِكٍ، أَيْ عَابِدٍ (الْعُلَمَا) جَمْعُ عَالِمٍ. وَهُوَ الْعَارِفُ بِأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الَّتِي عَلَيْهَا مَدَارُ صِحَّةِ الدِّينِ اعْتِقَادِيَّةً كَانَتْ أَوْ عَمَالِيَّةً. وَالْمُرَادُ بِهِمُ السَّلَفُ الصَّالِحِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ. وَسَبِيلُهُمْ مُنْحَصِرٌ فِي اعْتِقَادٍ وَعِلْمٍ وَعَمَلٍ عَلَى طِبْقِ الْعِلْمِ. وَافْتَرَقَ مَنْ جَاءَ بَعْدَهُمْ مِنْ أَئِمَّةِ الْأُمَّةِ الَّذِينَ يَجِبُ اتِّبَاعُهُمْ عَلَى ثَلَاثِ فِرَقٍ: فِرْقَةٌ نَصَبَتْ نَفْسَهَا لِبَيَانِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ. وَهُمُ الْأَئِمَّةُ الْأَرْبَعَةُ وَغَيْرُهُمْ مِنَ الْمُجْتَهِدِينَ. لَكِنْ لَمْ يَسْتَقِرَّ مِنَ الْمَذَاهِبِ الْمَرْضِيَّةِ سِوَى مَذَاهِبِ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ. وَفِرْقَةٌ نَصَبَتْ نَفْسَهَا لِلْاِشْتِغَالِ بِبَيَانِ الْعَقَائِدِ الَّتِي كَانَ عَلَيْهَا السَّلَفُ. وَهُمُ الْ أَشْعَرِيُّ وَالْمَاتُرِيدِيُّ وَمَنْ تَبِعَهُمَا. وَفِرْقَةٌ نَصَبَتْ نَفْسَهَا لِلْاِشْتِغَالِ بِالْعَمَلِ وَالْمُجَاهَدَاتِ عَلَى طِبْقِ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الْفِرْقَتَانِ الْمُتَقَدِّمَتَانِ. وَهُمْ أَبُو الْقَاسِمِ الْجُنَيْدُ وَمَنْ تَبِعَهُ. فَهَؤُلَاِء الْفِرَقِ الثَّلَاثَةِ هُمْ خَوَّاصُ الْأُمَّةِ الْمُحَمَّدِيَّةِ. وَمَنْ عَدَاهُمْ مِنْ جَمِيعِ  الْفِرَقِ عَلَى الضَّلَالِ، وَإِنْ كَانَ الْبَعْضُ مِنْهُمْ يُحْكَمُ بِالْإِسْلَامِ. فَالنَّاجِي مَنْ كَانَ فِي عَقِيدَتِهِ عَلَى طِبْقِ مَا بَيَّنَهُ أَهْلُ السُّنَّةِ وَقَلَّدَ فِي اْلأَحْكَامِ الْعَمَلِيَّةِ إِمَامًا مِنَ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ الْمَرْضِيَّةِ. ثُمَّ تَمَامُ النِّعْمَةِ وَالنَّجَاةِ فِي سُلُوكِ مَسْلَكِ الْجُنَيْدِ وَأَتْبَاعِهِ بَعَدَ أَنْ أَحْكَمَ دِينَهُ عَلَى طِبْقِ مَا بَيَّنَهُ الْفَرِيقَانِ الْمُتَقَدِّمَانِ. وَمِمَّنْ سَلَكَ مَسْلَكَهُ الْقُطْبُ الرَّبَّانِيُّ الْإِمَامُ سَيِّدِي أَحْمَدُ بْنُ الرِّفَاعِيِّ وَأَتْبَاعُهُ، وَالْقُطْبُ الرَّبَّانِيُّ الْإِمَامُ سَيِّدِي عَبْدُ الْقَادِرِ الْجِيلَانِيُّ وَأَتْبَاعُهُ، وَالْقُطْبُ الرَّبَّانِيُّ السَّيِدُ أَحْمَدُ الْبَدَوِيُّ وَأَتْبَاعُهُ، وَالْقُطْبُ الرَّبَّانِيُّ السَّيِدُ إِبْرَاهِيمُ الدُّسُوقِيُّ وَأَتْبَاعُهُ، وَالْقُطْبُ الرَّبَّانِيُّ السَّيِدُ عَلِيُّ أَبُو الْحَسَنُ الشَّاذِلِيُّ وَأَتْبَاعُهُ، وَالْقُطْبُ الرَّبَّانِيُّ سَيِّدِي مُحَمَّدُ الْخَلُوتِيُّ وَأَتْبَاعُهُ، وَالْقُطْبُ الرَّبَّانِيُّ سَيِّدِي عَبْدُ اللهِ النَّقْشَبَنْدِيُّ وَأَتْبَاعُهُ. فَهَؤُلَاءِ كُلُّهُمْ سَادَاتُ الْأَئِمَّةِ الْمُحَمَّدِيَّةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَعَنَّا بِهِمْ، آمِينَ.
[5] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din(Semarang: Thoha Putra, tth.), III/225.
[6] Al-Hafizh al-‘Iraqi, al-Mughni ‘an Haml al-Asfar pada Ihya’ Ulum ad-Din, (Semarang: Thoha Putra, tth.), III/225:
الحديث أخرجه الترمذي من حديث عبد الله بن عمرو وحسنه تفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة فقالوا من هي يا رسول الله قال ما أنا عليه وأصحابي ولأبي داود من حديث معاوية وابن ماجه من حديث أنس وعوف بن مالك وهي الجماعة وأسانيدها جياد.
[7] Hadits-hadits seperti inilah semestinya dijadikan pedoman, hadits yang dishahihkan oleh banyak ulama dan di riwayatkan dari banyak sahabat, yaitu dari Ali bin Abi Thalib, Sa’d bin Abi Waqqash, Ibn Umar, Abu ad-Darda’, Mu’awiyah, Ibn ‘Abbas, Jabir, Abu Umamah, Watsilah, ‘Auf bin Malik, dan ‘Umar bin ‘Auf al-Muzani, bukan hadits yang bertentangan dengannnya. Baca, Muhammad Ja’far al-Kattani, Nazhm al-Mutanatsir, 47:
وفي شرح عقيدة السفاريني ما نصه: وأما الحديث الذي أخبر النبي r: أن أمته ستفترق إلى ثلاث وسبعين فرقة واحدة في الجنة واثنتان وسبعون في النار، فروي من حديث أمير المؤمنين علي بن أبي طالب وسعد بن أبي وقا ص وابن عمر وأبي الدرداء ومعاوية وابن عباس وجابر وأبي أمامة وواثلة وعوف بن مالك وعمرو ابن عوف المزني. فكل هؤلاء قالوا: واحدة في الجنة وهي الجماعة. ولفظ حديث معاوية ما تقدم. فهو الذي ينبغي أن يعول عليه دون الحديث المكذوب على النبي r اهـ.
Al-Hafizh al-‘Iraqi, al-Mughni ‘an Haml al-Asfar pada Ihya’ Ulum ad-Din, (Semarang: Thoha Putra, tth.), III/225:
الحديث.
[8] Ahmad Abu al-Fadhl bin as-Syaikh ‘Abdussyakur as-Senori, al-Kawakib al-Lamma’ah fi Tahqiq al-Musamma bi Ahl as-Sunnah wal Jama’ah, (Kediri: Madrasah Hidayatul Mubtadi’at fi at-Tahfizh wa al-Qira’ah, tth.), 7-29:
(مقدمة) اعلم أن المسلمين في عهد رسول الله r أمة واحدة لم يختلفوا في عقائدهم ولا في أعمالهم اختلافا يؤدي إلى التفرق والتحزب والتعصب كما مدحهم الله تعالى بذلك في كتابه الكريم. ثم لما توفي رسول الله r صار أبو بكر t خليفة له، ثم بعده عمر بن الخطاب t، ولم يظهر فيهم خلاف إلا ما قل ممن لم يعتبر بخلافه. فلما صارت الخلافة إلى عثمان t ظهر الاختلاف ظهورا ما. ثم صارت إلى علي كرم الله وجهه اشتد ظهورا. فحينئذ تفرق الناس واختلف أراؤهم وتشعبت أهواؤهم وخرجت طائفة من طاعته ونصبوا له راية الخلاف وناجزوه بالقتال، فسمي هؤلاء بالخوارج ويبقى هذا الاسم لمن سلك مسلكهم ورأى رأيهم . وأفرطت طائفة أخرى في حبه واشتد تعصبهم له وتغالوا في ذلك، فسمي هؤلاء بالشيعة ويبقى هذا الاسم يلمن كان على مذهبهم إلى اليوم. وافترقت كل من هاتين الطائفتين إلى فرق أخرى، وكل من تلك الفرق يدعو الناس إلى رأيه ومذهبه. ثم لم تزل فرقة تظهر إثر أخرى حتى تفترق الناس إلى فرقة كثيرة. وكل يزعم أنه على الحق فلم يزالوا يزدادوا اختلافا، حتى إذا لم يبق من قرن التابعين إلا قليل ظهرت فرقة أخرى سموا أنفسهم بأهل العدل والتوحيد، وهم المعتزلة. وحينئذ حدث اسم أهل السنة  والجماعة للذين لازموا سنة النبي r وطريقة الصحابة في الاعقائد الدينية والأعمال الدينية والأخلاق القلبية.  فمن اشتغل منهم بإقامة الحجج والدلائل العقلية والنقلية للأمور الاعتقادية سمي بالمتكلم أو أهل الكلام؛ ومن اشتغل منهم بعلم العبادات البدانية والمعاملات والمناكحات والفتاوى في الأقضية والحكومات ونحو ذلك سمي بالفقهاء أو أهل الفقه؛ ومن اشتغل منهم بجمع الأحاديث النبوية وتمييز صحيحها من غيره ونحو ذلك سمي بالمحدثين أو أهل الحديث؛ ومن اشتغل منهم بالأعمال الظاهرة وتصفية القبوب عن الأخلاق المذمومة وتحليتها بمكارمها سمي بالصوفية أو أهل التصوف.
[9] Abdurrahman bin Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (Bairut: Dar al-Fikr, 1421 H/2001 M) ,586-590:
… أن القرآن ورد فيه وصف المعبود، بالتنزيه المطلق، الظاهر الدلالة من غير تأويل في آي كثيرة، وهي سلوب كلها وصريحة في بابها، فوجب الإيمان بها. ووقع في كلام الشارع صلوات الله عليه وكلام الصحابة والتابعين تفسيرها على ظاهرها. ثم وردت في القرآن آي آخرى قليلة توهم التشبيه، مرة في الذات وأخرى في الصفات. فأما السلف فغلبوا أدلة التنزيه لكثرتها ووضوح دلالتها، وعلموا استحالة التشبيه. وقضوا بأن الآيات من كلام الله، فآمنوا بها ولم يتعرضوا لمعناها، ببحث ولا تأويل. وهذا معنى قول الكثير منهم: اقرأوها كما جاءت، أي آمنوا بأنها من عند الله. ولا تتعرضوا لتأويلها ولا تفسيرها، لجواز أن يكون ابتلاء، فيجب الوقف والإذعان له. وشذ لعصرهم مبتدعة اتبعوا ما تشابه من الآيات، وتوغلوا في التشبيه: ففريق شبهوا في الذات باعتقاد اليد والقدم والوجه، عملاً بظواهر وردت بذلك، فوقعوا في التجسيم الصريح ومخالفة آي التنزيه المطلق … وفريق منهم ذهبوا إلى التشبيه في الصفات، كإثبات الجهة والاستواء والنزول والصوت والحرف وأمثال ذلك. وآل قولهم إلى التجسيم. … ثم لما كثرت العلوم والصنائع وولع الناس بالتدوين والبحث في سائر الأنحاء، وألف المتكلمون في التنزيه، حدثت بدعة المعتزلة، في تعميم هذا التنزيه في آي السلوب، فقضوا بنفي صفات المعاني من العلم والقدرة والإرادة والحياة، زائدة على أحكامها، لما يلزم ذلك من تعدد القديم بزعمهم … وقضوا بنفي الكلام لشبه ما في السمع والبصر، ولم يعقلوا صفة الكلام التي تقوم بالنفس، فقضوا بأن القرآن مخلوق، وذلك بدعة صرح السلف بخلافها وعظم ضرر هذه البدعة، ولقنها بعض الخلفاء عن أئمتهم، فحمل الناس عليها. وخالفهم أئمة السلف، فاستحل لخلافهم إيسار كثير منهم ودماؤهم. كان ذلك سبباً لانتهاض أهل السنة بالأدلة العقلية على هذه العقائد، دفعاً في صدور هذه البدع. وقام بذلك الشيخ أبو الحسن الأشعري إمام المتكلمين، فتوسط بين الطرق ونفى التشبيه. وأثبت الصفات المعنوية وقصر التنزيه على ما قصره عليه السلف. وشهدت له الأدلة المخصصة لعمومه، فأثبت الصفات الأربع المعنوية والسمع والبصر والكلام القائم بالنفس بطريق العقل والنقل. ورد على المبتدعة في ذلك كله … وكثر أتباع الشيخ أبي الحسن الأشعري، واقتفى طريقته من بعده تلميذه، كابن مجاهد وغيره. وأخذ عنهم القاضي أبو بكر الباقلاني فتصدر للإمامة في طريقتهم، وهذبها ووضع المقدمات العقلية، التي تتوقف عليها الأدلة، والأنظار، وذلك مثل: إثبات الجوهر الفرد والخلاء، وأن العرض لا يقوم بالعرض، وأنه لا يبقى زمانين … ثم جاء بعد القاضي أبي بكر الباقلاني من أئمة الأشعرية إمام الحرمين أبو المعالي، فأملى في الطريقة كتاب الشامل وأوسع القول فيه. ثم لخصه في كتاب الإرشاد واتخذه الناس إماماً لعقائدهم. ثم انتشر من بعد ذلك علم المنطق في الملة. وقرأه الناس وفرقوا بينه وبين العلوم الفلسفية، بأنه قانون ومعيار للأدلة فقط، يسبر به الأدلة منها كما يسبر من سواها. ثم نظروا في تلك القواعد والمقدمات في فن الكلام للأقدمين، فخالفوا الكثير منها بالبراهين التي أدتهم إلى ذلك … وربما أدخلوا فيها الرد على الفلاسفة فيما خالفوا فيه من العقائد الإيمانية، وجعلوهم من خصوم العقائد، لتناسب الكثير من مذاهب المبتدعة ومذاهبهم. وأول من كتب في طريقة الكلام على هذا المنحى الغزالي رحمه الله، وتبعه الإمام ابن الخطيب وجماعة قفوا أثرهم واعتمدوا تقليدهم.
[10] Balqasam al-Ghali, Abu Manshur al-Maturidi: Hayatuh wa Araa’uh al-‘Aqdiyyah, (Turki: Dar at-Turki, 1989 M) , 54-56:
فهل كانت الفرق الإسلامية متواجدة في منطقة ما وراء النهر؟ إن المصادر قد دلت على وجود الفرق الإسلامية في هذه البلد. قال المقدسي يصف الفرق في هذه الربوع: وللمعتزلة ظهور بلا غلبة، وللشيعة والكرامية بها جلبة. وفي هذا النص الوجيز يمكن أن نلاحظ وجود الفرق المختلفة بها، كالمجسمة والشيعة الغالية كالقرامطة والروافض والمعتزلة … إذا ألم الماتريدي بأصول المعتزلة وبفكر الروافض زشبه المجسمة وبطرائقهم ومناهجهم واستوعبها. ثم رد عليها بمؤبفات لها شأن عظيم في الفكر الإسلامي. …  وأما الرافد الهم لثقافة الماتريدين، فهوا ما نبت على ظهر الأرض، وما توافد عليها من ملل ونحل شتى. فلقد روت المصادر والمراجع أن هذه المنطقة كانت مرتعا خصبا للمانوية والزرادشتية والسمنية والبوذية والمسيحية.
[11] Tajuddin bin Ali as-Subki, Thabaqat as-Syafi’iyyah al-Kubra, III/365:
اِعْلَمْ أَنَّ أَبَا الْحَسَنِ لَمْ يُبْدِعْ رَأْيًا وَلَمْ يُنْشِ مَذْهَبًا. وَإِنَّمَا هُوَ مُقَرِّرٌ لِمَذَاهِبِ السَّلَفِ مُنَاضِلٌ عَمَّا كَانَتْ عَلَيْهِ صَحَابَةُ رَسُولِ اللهِ r. فَالْاِنْتِسَابُ إِلَيْهِ إِنَّمَا هُوَ بِاعْتِبَارِ أَنَّهُ عَقَدَ عَلَى طَرِيقِ السَّلَفِ نِطَاقًا وَتَمَسَّكَ بِهِ وَأَقَامَ الْحُجَّجَ وَالْبَرَاهِينِ عَلَيْهِ، فَصَارَ الْمُقْتَدِى بِهِ فِي ذَلِكَ السَّالِكُ سَبِيلَهُ فِي الدَّلَائِلِ يُسَمَّى أَشْعَرِيًّا.
[12] Abu Fadhl as-Senori, Kawakib al-Lama’ah:
ومعلوم أن لهؤلاء الأئمة الأبعة حظا أاوفر في الأمور الاعتقادية والأحاديث النبوية والأعمال القلبية كما هو ظاهر لمن تأمل سيرهم. وإانما كان استغالهم بعلم الفقه لأنه كان هو الأهم في زمانهم. وأما البدع والأهواء في الأمور الاعتقادية والأدواء القلبية وان وجدت في زمانهم، لكن لم ينتشر في الأقطار شررها ولم يعظم في الخلق شرها. وبعد هؤلاء المذاهب الأربعة ازدادت البدع والأهواء قوة وانتشارا، وتطايرت في أقطار الأرض شرارا. فحينئذ قامت أئمة الدين من أهل المذاهب الأربعة للذب والنضال عما كانوا عليه من العقائد التي عليها سلف الصالح حتى انتهى الأمر إلى الإمامين أبي الحسن الأشعري وأبي منصور الماتريدي رضي الله عنهما، فقاما أحسن قيام للذب والنضال عما كانوا يعني  هؤلاء الأئمة من أهل المذاهب الأربعة عليه من العقائد من سيرة النبي محمد r وطبقة أصحابه. فالأول أي أبو الحسن الأشعري على مذهب الإمام الشافعي، والثاني أي أبو منصور الماتريدي على مذهب الإمام أبي حنيفة كما سيأتي، ونالا بذلك مكانا من حسن الظن عند الناس، فاكتقوا بمذهبيهما وصاروا طائفتين أشاعرة وماتريدية، واختصتا الطائفتان من بين سائر المسلمين في عرف أهل العلم باسم أهل السنة والجماعة تمييزا لهما من المعتزلة وغيرهم من سائر أهل البدع والأهواء. ولما كان أهل الحديث وأهل التصوف لم يخالفوا الأشاعرة ولا الماتردية دخلوا أيضا تحت هذا الاسم، أعني أهل السنة والجماعة.
[13] Abdurrauf al-Munawi, Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ as-Shagir, (Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1391 H/1972 M), 20-21:
… فإن قيل ما وثوقك بأن تلك الفرقة الناجية هي أهل السنة والجماعة مع أن كل واحد من الفرق يزعم أنه هي دون غيره؟ قلنا ليس ذلك بالادعاء والتثبت باستعمال الوهم القاصر والقول الزاعم بل بالنقل عن جهابذة هذه الصنعة وأئمة أهل الحديث الذين جمعوا صحاح الأحاديث في أمر المصطفى r وأحواله وأفعاله وحركاته وسكناته وأحوال الصحب والتابعين كالشيخين وغيرهما الثقات المشاهير الذين اتفق أهل المشرق والمغرب على صحة ما في كتبهم وتكفل باستنباط معانيها وكشف مشكلاتها كالخطابي والبغوي والنووي جزاهم الله خيرا. ثم بعد النقل ينظر إلى من تمسك بهديهم واقتفى أثرهم واهتدى بسيرتهم في الأصول والفروع، فيحكم بأنهم هم وفيه كثرة أهل الضلال وقلة أهل الكمال والحث على الاعتصام بالكتاب والسنة ولزوم ما عليه الجماعة.
[14] Abdul Qahir al-Baghdadi, Ushul ad-Din, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1423 H/2002 M), 335.
[15] Tajuddin bin Ali as-Subki, Thabaqat as-Syafi’iyyah al-Kubra, (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1918 M), III/376.
[16] Ibn ‘Asakir, Tabyin Kadzb al-Muftari fi Ma Nusib ila Abi al-Hasan al-Asy’ari, (Kairo: al-Maktabah al-Azhariyyah li at-Turats,tth.), 249 dan Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabi, Tarikh al-Islam wa Wafayat al-Masyahir wa al-A’lam, (Bairut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1414 H/1994 M), XXXII/160-161.
[17] ‘Adhuddin al-Iji, al-Mawaqif, (Bairut: Dar al-Jil, 1997 M), III/718.
[18] Tajuddin bin Ali as-Subki, Thabaqat as-Syafi’iyyah al-Kubra, (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1918 M), VI/144.
[19] Abu Nashr ad-Dawani, Syarh al-‘Aqa’id al-‘Adhadiyyah (I/34) dalam Ahlussunnah al-Asya’irah; Syahadah ‘Ulama al-Ummah wa Adillatihim, (ttp.: Darad-Dhiya’,tth), 82.
[20] Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Haditsiyyah (205) dalam Ahlussunnah al-Asya’irah; Syahadah ‘Ulama al-Ummah wa Adillatihim, (ttp.: Darad-Dhiya’,tth), 86-87.
[21] Abu al-Baqa al-Kafawi, al-Kuliyyat, (Bairut:Mu’assasah ar-Risalah, 1419 H/1998 M), 210.
[22] Az-Zabidi, Ithaf al-Sadat al-Muttaqin, II/6.
[23] Struktur genealogi ini diambil dari kitab Kifayat al-Mustafid lima ‘Ala min al-Asanid, karya al-Syaikh al-Muhaddits al-Musnid al-Faqih Muhammad Mahfuzh bin Abdullah al-Tarmasi, diedit oleh Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani al-Makki, terbitan Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, 32-33.
[24] Untuk sanad berbagai bidang ilmu pengetahuan keislaman lainnya dapat dibaca dalam berbagai kitab sanad, di antaranya al-‘Iqd al-Farid min Jawahir al-Asanid karya Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani al-Makki yang diterbitkan di Kediri oleh PP. HM Lirboyo.
[25] Abu Mudhaffar al-Isfirayini, at-Tabshir fi ad-Din wa Tamyiz al-Firqah Najiyah ‘an al-Firaq al-Halikin, (Bairut: ‘Alam al-Kutub, 1403 H/1983 M), 182-185:
وأعلم أن جميع ما ذكرناه من اعتقاد أهل السنة والجماعة فلا خلاف في شيء منه بين الشافعي وأبي حنيفة رحمهما الله وجميع أهل الرأي والحديث مثل مالك والأوزاعي وداود والزهري والليث بن سعد وأحمد بن حنبل وسفيان الثوري وسفيان بن عيينة ويحيى بن معين وإسحاق بن راهوية ومحمد بن إسحق الحنظلي ومحمد بن أسلم الطوسي ويحيى بن يحيى والحسين بن الفضل البجلي وأبي يوسف ومحمد وزفر وأبي ثور وغيرهم من أئمة الحجاز والشام والعراق وأئمة خراسان وما وراء النهر ومن تقدمهم من الصحابة والتابعين وأتباع التابعين ومن أراد أن يتحقق أن لا خلاف بين الفريقين في هذه الجملة فلينظر فيما صنفه أبو حنيفة رحمه الله في الكلام وهو كتاب العلم وفيه الحجج القاهرة على أهل الإلحاد والبدعة وقد تكلم في شرح اعتقاد المتكلمين وقرر أحسن طريقة في الرد على المخالفين وكتاب الفقه الأكبر الذي أخبرنا به الثقة بطريق معتمد وإسناد صحيح عن نصير بن يحيى عن أبي مطيع عن أبي حنيفة وما جمعه أبو حنيفة في الوصية التي كتبها إلى أبي عمرو عثمان البتي ورد فيها على المبتدعين ولينظر فيما صنفه الشافعي في مصنفاته فلم يجد بين مذهبيهما تباينا بحال وكل ما حكى عنهم خلاف ما ذكرناه من مذاهبهم فإنما هو كذب يرتكبه مبتدع ترويجا لبدعته ومن لا يبالي أن يتدين بما لا حقيقة له في دينه لا يبالي نسبة الخرافات إلى أئمة الدين لأن من كذب على الله تعالى ورسوله لا يبالي أن يكذب على أئمة المسلمين وقد نبغ من احداث أهل الرأي من تلبس بشيء من مقالات القدرية والروافض مقلدا فيها وإذا خاف سيوف أهل السنة نسب ما هو فيه من عقائده الخبيثة إلى أبي حنيفة تسترا به فلا يغرنك ما أدعوه من نسبتها إليه فإن أبا حنيفة بريء منهم ومما نسبوه إليه والله تعالى يعصم أهل السنة والجماعة من جميع ما ينسبه إليهم أهل الغواية والضلالة وبالله التوفيق.

1 comment:

Powered by Blogger.